Oleh Anisa Wijayanti
Setelah dinyatakan lulus pada ujian sidang pada tanggal 22 Juni 2012 dan Agustus 2012, melakukan revisi ini itu, melengkapi berbagai persyaratan, akhirnya tibalah waktu yang kami tunggu sebagai lulusan dari Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Ada sepenggal cerita tentang wisuda aku, kita dan dia. Aku yang telah menunggu saat-saat wisuda sejak menginjakkan kampus empat tahun yang lalu kini telah mempersiapkan semuanya, saat wisuda tanggal 17 Oktober nanti kehamilanku tepat menginjak sembilan bulan, artinya di wisuda bersama utun dalam rahimku. Rasanya, hmmmmm,..sungguh tidak terpikir sebelumnya.
Orang tua dan suami menyambut gembira momen ini. Bahkan, suamiku sengaja datang dari Bengkulu untuk bisa menghadiri acara tersebut. Teman-teman sekelasku tak kalah heboh menyambut momen bahagia itu, sibuk mempersiapkan baju bahkan bagi para akhwat sudah memikirkan di salon mana mereka akan didandani. Orangtua dan kerabat sudah dipersiapkan untuk diajak dalam momen penting ini. Panitia tak kalah gencar menyiapkan semuanya agar acara besar ini bisa berjalan dengan sempurna.
Di sela hiruk pikuk persiapanku, teman-teman dan
panitia. Ada dia disana yang memilih untuk tidak ikut wisuda. Dia adalah
temanku yang meraih predikat terbaik satu angkatan kami. Dia yang sederhana dan
sangat baik sebagai teman. Dia memilih untuk tidak datang karena sebuah alasan
yang membuat hatiku terenyuh. Dia pergi ke Aceh Timur untuk program SM3T.
Sebuah program yang mengharuskannya pergi ke daerah terdepan, terluar dan
tertinggal. Bergabung bersama relawan yang lain demi memajukan pendidikan anak
bangsa yang bertempat tinggal di lokasi terpencil. Dia adalah Winda Yulia,
seorang teman, sahabat, dan keluarga yang menurutku memiliki hati yang begitu
mulia, baginya hingar binger wisuda tak berarti apa-apa bila dibandingkan
dengan pendidikan anak-anak di daerah tertinggal itu. Sebuah tamparan kuat
bagiku yang bahkan belum merencanakan apa-apa untuk hari-hari seusai wisuda. Jika
Winda bisa memiliki keberanian untuk memilih jalan kebaikan daripada egonya
untuk bersenang-senang dalam kegiatan seremonial seperti acara wisuda, lalu apa
yang bisa aku lakukan?. Terlalu berlebihan jika aku memilih untuk tidak ikut
wisuda hanya karena tidak mau menghambur-hamburkan waktu, tenaga dan uang untuk
hal yang sifatnya hanya seremonial. Tapi setidaknya, apa yang dilakukan Winda
menyadarkanku untuk berbuat sesuatu yang berguna sebagai seorang sarjana.
0 komentar:
Posting Komentar