Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 19 Oktober 2012

Haji untuk Bapak dan Ibu




“Bu, aku pulang!” terlihat Naima tergopoh-gopoh menuju rumah.“Jangan terburu-buru begitu, kok gak bilang salam?” kata ibunya dari dalam rumah.“Eh, iya Assalamualaikum bu!” ucap Naima polos. “Waalaykumsalam,” ucap ibunya. Naima kemudian membuka sepatu, memasuki rumah dan mencium tangan ibunya yang semakin tua dimakan usia. Ibu yang sedang memasak mencium kening anaknya dengan lembut. Tergesa-gesa Naima bercerita bahwa orang tua dari teman sebangkunya yaitu Citra akan segera naik haji tahun ini. Naima kembali mengungkapkan keinginannya agar bapak dan ibu segera naik haji setelah pensiun. Meski masih kelas dua sekolah dasar, Naima tahu bahwa saat bapak pensiun bapak akan mendapatkan uang pensiun yang menurutnya akan cukup untuk pergi haji. Hal ini memang sudah biasa terjadi pada orang-orang di kampungnya yang bekerja sebagai PNS seperti bapaknya Naima. Dahulu, Pak Tohir pensiunan kepala sekolah juga pergi haji beberapa tahun setelah pensiun. Naimah memang masih sekolah dasar, tapi bapaknya telah berusia hampir enam puluh tahun. Naima terlahir dari pasangan yang baru mendapatkan anak di usia senja. Bapaknya seorang guru sekolah dasar di kampungnya sementara ibunya adalah ibu rumah tangga.

            Sesaat kemudian bapak pulang. Naima menghampiri bapak dan kembali mengutarakan keinginannya agar bapak pergi haji saat pensiun. Naima tahu bahwa bapak akan segera pensiun. Mendengar keinginan putrinya yang mulia bapak hanya tersenyum. “Insyaallah ya nak, bapak akan menerima uang pensiun bulan depan,” ucapnya.
            Saat-saat yang ditunggu Naima tiba, bulan ini bapak akan menerima uang pensiunnya. Di sekolah Naima sudah bercerita pada teman-temannya bahwa bapak dan ibunya akan naik haji setelah bapak pensiun. Teman-temannya menyambut cerita itu dengan antusias. Sementara itu bapak tampak murung di kantor. Uang pensiunnya ternyata 30 juta rupiah saja tak akan cukup untuk pergi haji bersama ibu.
            Di rumah, Naimah telah menunggu dengan ceria tapi bapak datang dengan wajah yang murung dan bercerita bahwa uang yang diterimanya tidak cukup untuk pergi haji bersama ibu. Bapak berencana untuk menjadikan uang pensiun sebagai modal usaha agar uangnya cukup.
Di sekolah. “Naima, kapan bapakmu berangkat haji?” kata Bunga teman sekelasnya. “Aku tidak tahu, kata bapak uangnya tidak cukup,” Naimah menjawab dengan muka merunduk.“Huu,..makanya jadi orang jangan suka pamer. Kenyataannya orang tuamu gagal pergi haji, kan?” Anak-anak satu kelas menertawakan dan mengejek Naima. Naima terdiam menahan tangis, “Cit, orang tuaku gagal pergi haji, aku malu pada teman-teman,” ucapnya. “Sudahlah, jangan dengarkan mereka. Lebih baik kamu doakan orang tuamu supaya mereka bisa naik haji,”Citra menenangkan. “Mungkin aku yang salah karena pamer kepada teman-temanku. Aku bercerita seperti itu karena aku yakin dan sangat senang sekali ketika mendengar bapak pensiun,” ungkapnya. Citra memeluk Naima dan menenangkannya.
            Menatap langit-langit kamar yang sempit, bapak termenung memikirkan ajakan Bang Madun untuk menjadikan uang pensiunnya sebagai modal usaha. Terbayang semua keuntungan yang akan didapatkan jika dia menginvestasikan uangnya. Cukup untuk dia dan istrinya pergi haji. Keinginan untuk bisa pergi haji begitu kuat di hati bapak  hingga tanpa pikir panjang bapak memutuskan untuk menginvestasikan uangnya.
            Beberapa bulan setelah bapak menyetorkan semua uang pensiunnya keuntungannya begitu terasa hingga pada bulan keenam, Bang Madun menghilang. Bapak mencari Bang Madun tapi ternyata Bang Madun kabur bersama uang yang bapak berikan. Bapak bersama para korban yang lain melaporkannya ke Polisi tapi tak ada hasil yang jelas.
Bapak datang ke rumah dengan lemas. Ditemuinya ibu sambil terisak. “Bu, kita kena tipu. Uang yang kita berikan kepada Madun dibawa kabur. Kita berdua tidak bisa pergi haji sekarang.” Mendengar ucapan bapaknya, Naima segera menghampiri kedua orang tuanya. “Apa? Jadi semua uang pensiun bapak hilang?” ibu berkata sambil terisak. “Iya bu, maafkan bapak bu. bapak ceroboh,” ucap bapak penuh sesal. Tanpa berkata-kata Naima memeluk kedua orang tuanya. Tubuhnya terasa lemas, keinginannya agar orang tuanya pergi haji pupus sudah. Pelan dia bangkit dan menghapus air mata ibu dan bapak yang termenung di hadapannya. “Bapak dan ibu tenang saja. Naima janji akan menjadi anak yang rajin dan pandai. Naima akan terus bersekolah sampai sukses. Nanti. Naima yang akan cari uang untuk bapak dan ibu pergi haji. Bapak dan ibu sabar ya, tunggu Naima besar,” ucap Naima dengan yakin. Bapak tersenyum mendengar ucapan anak berusia delapan tahun itu. Kehilangan uang yang besar memang menyakitkan. Tapi dihadapannya, masih ada harta yang begitu berharga yang harus bapak jaga yakni Naima.  Dalam hati Naima berdoa, semoga Allah mengabulkan apa yang telah dia janjikan kepada kedua orang tuanya. Menghajikan kedua orang tua menjadi cita-cita besar Naima kini. Mulai sekarang, dia harus lebih rajin lagi belajar. Agar semua janjinya bisa dia tepati.
BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Anisa Wijayanti dengan nama pena Sazkia Oktaria Raihani. Anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir di Ciamis, 1 Oktober 1989 dari pasangan Mamat Suryawijaya dan Mimin Suminar. Setelah menyelesaikan kuliah pada jurusan Pendidikan Matematika di UPI Bandung kini penulis kembali tinggal di RT 03/RW 18 Dusun Cipaku Desa Muktisari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis guna mempersiapkan diri sebagai calon ibu muda bagi anak pertamanya bersama Deri Yanto. Penulis memiliki hobby membaca, menulis, menyanyi. Alamat email penulis yakni wijayanti.anisa@yahoo.com dan nomor handphone 085317938585 atau 085722969881.
Dengan moto hidup menikmati perjalanan dalam perjuangan menapaki tujuan penulis menikmati hari-harinya dengan aktif menulis dan mengajar di sebuah PAUD rintisan di daerahnya.

















           

0 komentar:

Posting Komentar