“Bu, aku pulang!” terlihat Naima tergopoh-gopoh menuju rumah.“Jangan terburu-buru begitu, kok gak bilang salam?” kata ibunya dari dalam rumah.“Eh, iya Assalamualaikum bu!” ucap Naima polos. “Waalaykumsalam,” ucap ibunya. Naima kemudian membuka sepatu, memasuki rumah dan mencium tangan ibunya yang semakin tua dimakan usia. Ibu yang sedang memasak mencium kening anaknya dengan lembut. Tergesa-gesa Naima bercerita bahwa orang tua dari teman sebangkunya yaitu Citra akan segera naik haji tahun ini. Naima kembali mengungkapkan keinginannya agar bapak dan ibu segera naik haji setelah pensiun. Meski masih kelas dua sekolah dasar, Naima tahu bahwa saat bapak pensiun bapak akan mendapatkan uang pensiun yang menurutnya akan cukup untuk pergi haji. Hal ini memang sudah biasa terjadi pada orang-orang di kampungnya yang bekerja sebagai PNS seperti bapaknya Naima. Dahulu, Pak Tohir pensiunan kepala sekolah juga pergi haji beberapa tahun setelah pensiun. Naimah memang masih sekolah dasar, tapi bapaknya telah berusia hampir enam puluh tahun. Naima terlahir dari pasangan yang baru mendapatkan anak di usia senja. Bapaknya seorang guru sekolah dasar di kampungnya sementara ibunya adalah ibu rumah tangga.
Sesaat kemudian bapak pulang. Naima
menghampiri bapak dan kembali mengutarakan keinginannya agar bapak pergi haji
saat pensiun. Naima tahu bahwa bapak akan segera pensiun. Mendengar keinginan
putrinya yang mulia bapak hanya tersenyum. “Insyaallah ya nak, bapak akan
menerima uang pensiun bulan depan,” ucapnya.
Saat-saat yang ditunggu Naima tiba, bulan
ini bapak akan menerima uang pensiunnya. Di sekolah Naima sudah bercerita pada
teman-temannya bahwa bapak dan ibunya akan naik haji setelah bapak pensiun.
Teman-temannya menyambut cerita itu dengan antusias. Sementara itu bapak tampak
murung di kantor. Uang pensiunnya ternyata 30 juta rupiah saja tak akan cukup
untuk pergi haji bersama ibu.
Di rumah, Naimah telah menunggu
dengan ceria tapi bapak datang dengan wajah yang murung dan bercerita bahwa
uang yang diterimanya tidak cukup untuk pergi haji bersama ibu. Bapak berencana
untuk menjadikan uang pensiun sebagai modal usaha agar uangnya cukup.
Di
sekolah. “Naima, kapan bapakmu berangkat haji?” kata Bunga teman sekelasnya. “Aku
tidak tahu, kata bapak uangnya tidak cukup,” Naimah menjawab dengan muka
merunduk.“Huu,..makanya jadi orang jangan suka pamer. Kenyataannya orang tuamu
gagal pergi haji, kan?” Anak-anak satu kelas menertawakan dan mengejek Naima.
Naima terdiam menahan tangis, “Cit, orang tuaku gagal pergi haji, aku malu pada
teman-teman,” ucapnya. “Sudahlah, jangan dengarkan mereka. Lebih baik kamu
doakan orang tuamu supaya mereka bisa naik haji,”Citra menenangkan. “Mungkin
aku yang salah karena pamer kepada teman-temanku. Aku bercerita seperti itu
karena aku yakin dan sangat senang sekali ketika mendengar bapak pensiun,”
ungkapnya. Citra memeluk Naima dan menenangkannya.
Menatap langit-langit kamar yang
sempit, bapak termenung memikirkan ajakan Bang Madun untuk menjadikan uang
pensiunnya sebagai modal usaha. Terbayang semua keuntungan yang akan didapatkan
jika dia menginvestasikan uangnya. Cukup untuk dia dan istrinya pergi haji.
Keinginan untuk bisa pergi haji begitu kuat di hati bapak hingga tanpa pikir panjang bapak memutuskan
untuk menginvestasikan uangnya.
Beberapa bulan setelah bapak menyetorkan
semua uang pensiunnya keuntungannya begitu terasa hingga pada bulan keenam,
Bang Madun menghilang. Bapak mencari Bang Madun tapi ternyata Bang Madun kabur
bersama uang yang bapak berikan. Bapak bersama para korban yang lain
melaporkannya ke Polisi tapi tak ada hasil yang jelas.
Bapak
datang ke rumah dengan lemas. Ditemuinya ibu sambil terisak. “Bu, kita kena
tipu. Uang yang kita berikan kepada Madun dibawa kabur. Kita berdua tidak bisa
pergi haji sekarang.” Mendengar ucapan bapaknya, Naima segera menghampiri kedua
orang tuanya. “Apa? Jadi semua uang pensiun bapak hilang?” ibu berkata sambil
terisak. “Iya bu, maafkan bapak bu. bapak ceroboh,” ucap bapak penuh sesal. Tanpa
berkata-kata Naima memeluk kedua orang tuanya. Tubuhnya terasa lemas,
keinginannya agar orang tuanya pergi haji pupus sudah. Pelan dia bangkit dan
menghapus air mata ibu dan bapak yang termenung di hadapannya. “Bapak dan ibu
tenang saja. Naima janji akan menjadi anak yang rajin dan pandai. Naima akan
terus bersekolah sampai sukses. Nanti. Naima yang akan cari uang untuk bapak
dan ibu pergi haji. Bapak dan ibu sabar ya, tunggu Naima besar,” ucap Naima
dengan yakin. Bapak tersenyum mendengar ucapan anak berusia delapan tahun itu.
Kehilangan uang yang besar memang menyakitkan. Tapi dihadapannya, masih ada
harta yang begitu berharga yang harus bapak jaga yakni Naima. Dalam hati Naima berdoa, semoga Allah
mengabulkan apa yang telah dia janjikan kepada kedua orang tuanya. Menghajikan
kedua orang tua menjadi cita-cita besar Naima kini. Mulai sekarang, dia harus
lebih rajin lagi belajar. Agar semua janjinya bisa dia tepati.
BIODATA PENULIS
Penulis
memiliki nama lengkap Anisa Wijayanti dengan nama pena Sazkia Oktaria
Raihani. Anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir di Ciamis, 1 Oktober 1989
dari pasangan Mamat Suryawijaya dan Mimin Suminar. Setelah menyelesaikan
kuliah pada jurusan Pendidikan Matematika di UPI Bandung kini penulis kembali
tinggal di RT 03/RW 18 Dusun Cipaku Desa Muktisari Kecamatan Cipaku
Kabupaten Ciamis guna mempersiapkan diri sebagai calon ibu muda bagi anak
pertamanya bersama Deri Yanto. Penulis memiliki hobby membaca, menulis,
menyanyi. Alamat email penulis yakni wijayanti.anisa@yahoo.com
dan nomor handphone 085317938585
atau 085722969881.
|
|
Dengan moto
hidup menikmati
perjalanan dalam perjuangan menapaki tujuan penulis menikmati
hari-harinya dengan aktif menulis dan mengajar di sebuah PAUD rintisan di
daerahnya.
|
0 komentar:
Posting Komentar