Anisa Wijayanti. (2012). Jurusan
Pendidikan Matematika, FPMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP
di Indonesia. Padahal, kemampuan ini sangat penting bagi setiap individu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan masalah
matematis siswa setelah belajar dengan model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE). Metode penelitian adalah metode kuasi eksperimen. Populasinya adalah seluruh siswa salah satu SMP Negeri di
Bandung kelas VIII tahun ajaran 2011/2012. Teknik sampling menggunakan purposif sampling untuk memilih kelas
eksperimen, dan kelas kontrol. Kelas eksperimen belajar dengan model CORE, kelas kontrol belajar dengan model
konvensional. Analisis data dilakukan dengan membandingkan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen dan kelas kontrol melalui uji
statistik dan melihat respon siswa melalui angket, lembar observasi dan
wawancara. Hasil penelitian menyatakan bahwa model CORE dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah, nilai rata-rata kelas eksperimen lebih baik dari kelas
kontrol dan respon siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE positif.
Kata kunci: Pemecahan Masalah Matematis
Siswa, Model CORE (Connecting,
Organizing, Reflecting, Extending)
A. PENDAHULUAN
“Bidang studi matematika secara garis besar memiliki
dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang
akan datang” (Subakti, 2009: 1). Berdasarkan pendapat Subakti ini maka ada dua
visi dalam pembelajaran matematika. Visi pertama mengarahkan pembelajaran
matematika untuk pemahaman konsep-konsep yang kemudian diperlukan untuk
menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan yang lainnya, sedangkan
visi kedua mengarahkan pada masa depan yang lebih luas yaitu matematika
memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistematis, kritis, cermat, bersikap
objektif dan terbuka sehingga diharapkan kemampuan ini akan berpengaruh positif
bagi masa depan siswa.
Dalam belajar matematika pada dasarnya seseorang
tidak terlepas dari pemecahan masalah karena berhasil atau tidaknya seseorang
dalam matematika ditandai adanya kemampuan pemecahan masalah yang dihadapinya
(Fadillah, 2008). Pemecahan masalah itu penting bukan saja bagi kehidupan siswa
dikemudian hari ketika akan mendalami
matematika, tetapi juga mereka yang akan menerapkannya baik dalam bidang
studi lain maupun dalam kehidupan sehari-hari
(Ruseffendi, 1991)
Ditengah pentingnya kemampuan pemecahan masalah,
ditemukan fakta bahwa kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki oleh siswa
Indonesia tergolong masih rendah. Hal ini berdasarkan hasil tes Trends International Mathematics and Science
Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi (high order thinking) siswa Indonesia kurang dari satu
persen di bawah rata-rata internasional yaitu sebesar dua persen. Sedangkan
siswa di negara Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura di atas 40 persen (Rizali,
2008). Fakta yang serupa didapatkan berdasarkan hasil tes PISA
yang menyatakan bahwa siswa Indonesia
yang memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik tidak lebih dari 10%,
kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia menduduki peringkat ke 63 dari 65
negara (PISA, 2009).
Rendahnya
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa akan berdampak pada rendahnya
prestasi siswa disekolah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diperoleh bila
dalam proses pembelajaran terjadi komunikasi antara guru dengan siswa dan
antara siswa dengan siswa yang merangsang terciptanya partisipasi siswa
(Subakti, 2009). Artinya, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yaitu dengan memilih model
pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan pada diri siswa. Model CORE adalah sebuah model yang mencakup empat proses
yaitu Connecting (menghubungkan
informasi lama dengan informasi baru),
Organizing (mengorganisasikan pengetahuan), Reflecting (menjelaskan kembali informasi yang telah diperoleh), dan Extending (memperluas
pengetahuan) (Tresnawati, 2006). Tahapan pembelajaran dengan model CORE
menawarkan sebuah proses pembelajaran yang memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat,
mencari solusi serta membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini memberikan
pengalaman yang berbeda sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah pada diri siswa.
Berdasarkan uraian di atas penulis berusaha mengkaji
mengenai penerapan model CORE untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa SMP. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1.
Bagaimanakah
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapat pembelajaran
dengan model CORE?
2.
Apakah
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mengikuti pembelajaran
matematika dengan model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) meningkat bila dibandingkan dengan pembelajaran dengan
model konvensional?
3.
Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model
Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending (CORE) dibandingkan dengan pembelajaran dengan model
konvensional?
B.
Kajian Pustaka
1. Pemecahan
Masalah
Untuk memberi pengertian terhadap pemecahan masalah,
perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian masalah. Newell &
Simon (1971) mengungkapkan bahwa masalah adalah suatu situasi di mana individu
ingin melakukan sesuatu tetapi tidak mengetahui cara dan tindakan yang
diperlukan untuk memperoleh apa yang ia inginkan. NCTM menetapkan memecahkan
masalah sebagai suatu tujuan dan pendekatan. Memecahkan masalah bermakna
menjawab suatu pertanyaan dimana metode untuk mencari solusi dari pertanyaan
tersebut tidak dikenal terlebih dahulu. Untuk menemukan suatu solusi, siswa harus
menggunakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan melalui proses dimana
mereka akan mengembangkan pemahaman-pemahaman matematika baru. Memecahkan
masalah bukanlah hanya suatu tujuan dari belajar matematika tetapi juga
memiliki suatu makna yang lebih utama dari mengerjakannya (NCTM, 2000).
Hudojo (Arniati dan Dewi, 2010) mengungkapkan bahwa
syarat suatu masalah bagi siswa adalah sebagai berikut.
a. Pertanyaan
yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa
tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk
menjawabnya.
b. Pertanyaan
tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang diketahui siswa.
Polya (1945) menyatakan bahwa terdapat dua
macam masalah dalam matematika, yaitu:
a. Masalah
untuk menemukan mencakup masalah teoritis, praktis, abstrak, konkret dan teka
teki. Sebelum menyelesaikan masalah yang termasuk masalah menemukan terlebih
dahulu harus dicari variabel masalahnya kemudian mengkonstruksi semua jenis
objek yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Landasan utama untuk
dapat menyelesaikan masalah tipe ini antara lain : (1) Apakah yang akan dicari?
(2) Apa saja data yang diketahui? (3) Bagaimanakah syaratnya?. Masalah untuk
menemukan ini lebih penting diterapkan dalam matematika elementer.
b. Masalah untuk membuktikan diantaranya adalah
persoalan yang mengharuskan peserta didik untuk menunjukan bahwa suatu
pernyataan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya. Bagian utama dari
masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus
dibuktikan kebenarannya, masalah untuk membuktikan lebih penting dalam
matematika lanjut.
Pemecahan masalah sebagaimana yang diungkapkan oleh
Polya (1945) merupakan heuristik (cara untuk menemukan) yang berarti
mempelajari metode atau aturan dari penemuan yang mencakup discovery dan
invention. Sementara itu, kemampuan
pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika dengan berpedoman pada proses penemuan jawaban yang menghadirkan langkah-langkah
Polya (1945:1). Menurut Polya (1945), untuk memecahkan suatu masalah ada empat
langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a.
Memahami masalah, yaitu menentukan
(mengidentifikasi) apa (data) yang diketahui, apa yang ditanyakan (tidak
diketahui), syarat‐syarat apa yang
diperlukan, apa syarat‐syarat bisa dipenuhi,
memeriksa apakah syarat‐syarat yang diketahui
mencukupi untuk mencari yang tidak diketahui, dan menyatakan kembali masalah
asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat diselesaikan).
b.
Merencanakan pemecahannya, yaitu
memeriksa apakah sudah pernah melihat sebelumnya atau melihat masalah yang sama
dalam bentuk berbeda, memeriksa apakah sudah mengetahui soal lain yang terkait,
mengaitkan dengan teorema yang mungkin berguna, memperhatikan yang tidak
diketahui dari soal dan mencoba memikirkan soal yang sudah dikenal yang
mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama.
c.
Melaksanakan rencana, yaitu melaksanakan
rencana penyelesaian, mengecek kebenaran setiap langkah dan membuktikan bahwa
langkah benar.
d.
Memeriksa kembali, yaitu meneliti
kembali hasil yang telah dicapai, mengecek hasilnya, mengecek argumennya,
mencari hasil itu dengan cara lain, dan menggunakan hasil atau metode yang
ditemukan untuk menyelesaikan masalah lain.
Indikator pemecahan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagaimana dikutip dari Sumarmo (2010: 5) sebagai
berikut.
a. Mengidentifikasi
kecukupan data untuk memecahkan masalah.
b. Membuat
model matematis dari situasi atau masalah sehari-hari.
c. Memilih
dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika atau diluar
matematika.
d. Menjelaskan
atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan serta memeriksa kebenaran
hasil atau jawaban.
e. Menerapkan
matematika secara bermakna.
2.
Model CORE
Terkait dengan pendidikan dalam konteks pembelajaran
maka guru akan dihadapkan dengan siswa. Untuk membentuk siswa yang memiliki
pengetahuan luas dan menyeluruh guru harus menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan menyenangkan, selain itu guru harus menerapkan strategi atau model
pembelajaran yang bisa membantu siswa untuk memetakan materi dalam memorinya
dengan membuat keterkaitan antara materi dan menarik kesimpulan pada setiap
materi yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Jacob (2005) yang
menyatakan bahwa pengetahuan siswa akan semakin luas dan terpetakan dengan baik
dalam memorinya apabila ditunjang dengan lingkungan sosial yang baik, selain
itu guru harus membantu siswa merefleksikan apa yang mereka pelajari. Selain
partisipasi aktif dan kemampuan merefleksikan apa yang telah dipelajari dalam
proses pembelajaran dibutuhkan pula kemampuan untuk mengubungkan pola-pola dan
memperluas pengetahuan.
Aktivitas yang membuat siswa berpartisipasi aktif
dan merefleksikan apa yang mereka pelajari bisa dilakukan dalam bentuk diskusi.
Setyowati (2011) menyatakan bahwa
“Diskusi adalah suatu kegiatan yang dihadiri dua orang atau lebih untuk berbagi
ide dan pengalaman serta memperluas pengetahuan.” Metode diskusi adalah suatu
cara mengajar dengan mengaitkan topik atau
masalah yang memicu para peserta diskusi untuk berusaha mencapai atau
memperoleh suatu keputusan atau pendapat yang disepakati bersama (Nursidik,
2008).
Calfee et al.
(Jacob, 2005: 13) mengusulkan suatu model pembelajaran yang menggunakan metode
diskusi untuk dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan dengan melibatkan
siswa yang disebut model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Exending). Harmsen (2005)
menyatakan bahwa elemen-elemen tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi
lama dengan informasi baru, mengorganisasikan sejumlah materi yang bervariasi,
merefleksikan segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan lingkungan
belajar.
C.
Metodologi
1.
Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen seperti yang
digambarkan dalam diagram berikut ini:
Kelas Eksperimen : 0 X 0
Kelas Kontrol : 0 0
Keterangan:
0: Adanya pretes/
postes
X: Pembelajaran matematika melalui model CORE
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa di salah satu SMP Negeri di Bandung kelas
VIII tahun ajaran 2011/2012 semester genap. Sekolah tersebut merupakan sekolah cluster dua yang penerimaan siswa
barunya diseleksi berdasarkan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN), nilai Ujian
Akhir Sekolah (UAS) dan nilai rapot. Sampel penelitian adalah dua kelas yang
dipilih berdasarkan teknik purposif
sampling, kedua kelas tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan kepala
sekolah dan guru untuk menentukan kelas mana yang menjadi kelas eksperimen, dan
kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran
matematika dengan model Connecting,
Organizing, Reflecting Extending (CORE), sedangkan kelas kontrol adalah
kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional.
3. Instrumen
a. Instrumen Tes
Untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis, sebelum dan sesudah penelitian dilakukan pretes dan postes.
Tes berupa soal-soal uraian yang memuat indikator sesuai standar kompetensi dan
kompetensi dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan indikator
kompetensi kemampuan pemecahan masalah matematis.
b. Lembar Observasi
Observasi dilakukan untuk untuk
mengukur kesesuaian proses pembelajaran dengan RPP yang telah dibuat, serta
kesesuaian proses pembelajaran dengan komponen-komponen model CORE yang harus
diterapkan selama proses pembelajaran berlangsung. Adapun yang bertindak sebagai observer adalah seseorang yang
memahami alur pembelajaran dengan model CORE.
c. Angket
Skala Sikap
Ruseffendi
(Idaningtias, 2008) menyatakan bahwa ”Skala sikap adalah skala yang
dipergunakan untuk mengukur sikap seseorang atau skala sikap dapat pula
diartikan sebagai skala yang berkenaan dengan apa yang seseorang percayai,
hayati, dan rasakan”.
d.
Wawancara
Wawancara
dilakukan terhadap siswa di kelas eksperimen dengan kasus-kasus tertentu yakni
siswa yang memiliki nilai tertinggi, siswa yang memiliki nilai terendah, siswa
yang memiliki peningkatan nilai terendah dan siswa yang memiliki respon yang
positif serta aktif selama proses pembelajaran dengan model CORE akan tetapi
memperoleh nilai yang kurang memuaskan saat tes.
D. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dari
penelitian ini adalah mengenai peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CORE, membandingkan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran
dengan model CORE dan model konvensional, dan respon siswa terhadap
pembelajaran dengan model CORE.
Analisis hasil penelitian mengenai peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dilakukan dengan menghitung gain
ternormalisasi data pretes dan postes kelas eksperimen. Rata-rata indeks gain
kelas eksperimen adalah 0,3 artinya kelas eksperimen mengalami peningkatan yang
rendah. Adapun hasil tafsiran indeks gainnya disajikan dalam diagram berikut.
Berdasarkan diagram di atas didapatkan fakta bahwa
16% siswa mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang
tinggi, 31% siswa mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah sedang dan
53% siswa mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang rendah. Fakta
ini menunjukkan bahwa model CORE tidak berhasil meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa secara signifikan. Apabila ditinjau dari proses pembelajaran
faktor yang paling mendasar yang menyebabkan peningktan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa tidak signifikan yakni motivasi belajar siswa yang
kurang. Siswa jarang mempelajari kembali soal-soal yang telah diberikan selama
proses pembelajaran. Hal ini terungkap melalui wawancara yang dilakukan pada
siswa yang mendapatkan nilai yang rendah, siswa yang mendapatkan nilai yang
rendah menyatakan bahwa siswa tersebut tidak pernah mempelajari kembali
soal-soal yang telah didapatkan selama proses pembelajaran dan tidak belajar
dengan sungguh-sungguh pada waktu menjelang
tes. Motivasi belajar siswa yang rendah juga membuat siswa kurang
berkonsentrasi selama proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung.
Analisis hasil penelitian dilakukan melalui uji statistik untuk
mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
menyatakan bahwa siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CORE mengalami
peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik bila dibandingkan
dengan siswa yang berlajar dengan model konvensional. Adapun
hasil pretes postes kelas kontrol dan kelas eksperimen disajikan dalam diagram
berikut.
Sementara itu, pengolahan data hasil angket
dilakukan dengan menggunakan Skala Likert disajikan dalam diagram berikut.
Berdasarkan
hasil pengolahan data ternyata sebanyak 32 orang siswa atau 97% siswa
memberikan respon positif dan hanya terdapat satu orang siswa atau 3% yang
memberikan respon negatif.
E. Pembahasan
1. Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswa Kelas Eksperimen
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang belajar dengan model CORE masih tergolong kurang memuaskan. Hal ini
terlihat dari rata-rata indeks gain siswa kelas eksperimen yakni 0,3 artinya
peningkatan kemampuan pemecahan masalah tergolong rendah. Apabila dikaji lebih
mendalam, berdasarkan wawancara ditemukan fakta bahwa terdapat faktor-faktor
secara intrinsik dalam diri siswa yang berpengaruh pada peningkatan kemampuan
pemecahan masalahnya. Hal yang paling berpengaruh adalah motivasi dalam diri
siswa yang masih sangat rendah yang membuat siswa malas berlatih soal-soal
pemecahan masalah. Motivasi yang rendah juga membuat siswa tidak belajar dengan
sungguh-sungguh saat menghadapi tes.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa antara yang belajar dengan model CORE dan siswa yang belajar dengan model
konvensional cukup signifikan. Berdasarkan rata-rata skor sebelum dilakukan
penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata kelas kontrol yakni 17,32 sedangkan
nilai rata-rata kelas eksperimen adalah 18,25. Setelah dilakukan uji statistik
terhadap data nilai pretes dan postes ternyata didapatkan kesimpulan bahwa
nilai rata-rata kelas kontrol dan kelas eksperimen sama. Setelah mendapatkan
pembelajaran dengan model CORE ternyata nilai rata-rata kelas kontrol berbeda
bila dibandingkan dengan kelas eksperimen yakni kelas kontrol 30,89 dan kelas
eksperimen 42,39 .Hasil uji statistik menyatakan bahwa nilai rata-rata kelas yang
mendapatkan pembelajaran dengan model CORE lebih baik bila dibandingkan dengan
siswa yang belajar dengan model konvensional.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa di kelas eksperimen meningkat lebih baik daripada kelas kontrol karena
pembelajaran dengan model CORE yang sintaksnya terdiri dari Connecting, Organizing, Reflecting dan Ekstending dan berbasis pada keaktifan
siswa membuat konsentrasi belajar siswa lebih fokus pada materi yang
dipelajarinya. Proses diskusi dalam model CORE membuat siswa bisa belajar
dengan lebih nyaman karena siswa bisa menuangkan ide-ide pemecahan masalahnya
sendiri dan belajar mengungkapkan ide-ide tersebut sehingga bisa diterima oleh
orang lain. Siswa yang kesulitan memahami materi juga bisa bertanya mengenai
kesulitannya terhadap teman sebaya. Fakta ini terungkap berdasarkan wawancara
dan angket yang telah diisi oleh siswa.
Berdasarkan sintaksnya, model CORE sangat erat kaitannya dengan
langkah-langkah Polya (1945) dalam pemecahan masalah matematika yakni: (1) memahami masalah, (2) merencanakan
pemecahannya, (3) melaksanakan rencana, (4) memeriksa kembali. Proses
Connecting erat kaitannya dengan
langkah pemecahan masalah Polya yang pertama yakni memahami masalah. Connecting yang terjadi pada tahap
apersepsi dan saat siswa mencoba memahami masalah serta menyelidiki kecukupan
data mempermudah siswa untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan, proses ini
juga membuat siswa memaknai keterkaitan materi lebih mendalam sehingga siswa
mampu menarik kesimpulan dan memahami materi yang diberikan dalam setiap
pertemuan. Proses Organizing erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan
rencana pemecahan masalah. Proses
Organizing dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas mampu membuat siswa
terbiasa menyampaikan ide-ide atau pendapat mengenai strategi pemecahan masalah
yang ada di pikirannya dan menerima pendapat orang lain, proses ini membuat
siswa berpikir lebih terbuka. Reflecting
erat kaitannya dengan memeriksa kembali. Proses Reflecting dimana siswa diberi kesempatan untuk mengkaji ulang
strategi pemecahan masalah yang telah dilakukan, memahami materi yang telah
didapatkan dalam proses diskusi, mempelajari strategi orang lain dan memikirkan
strategi yang tepat membuat siswa mampu menyadari kekeliruan saat mengerjakan
soal dan berusaha memperbaikinya. Proses Extending
yang merupakan tahap terakhir dalam
pembelajaran menggunakan model CORE sangat dipengaruhi oleh proses-proses
sebelumnya. Angket skala sikap menunjukkan bahwa siswa yang menjalani tahap Connecting Organizing dan Reflecting
dengan baik terbukti merasa yakin dan percaya diri saat mengerjakan soal yang
diberikan setelah memahami materi dalam diskusi (soal individual). Berdasarkan
penjelasan di atas terbukti bahwa proses Connecting,
Organizing dan Reflecting sangat berpengaruh untuk membantu siswa menyelesaikan
soal-soal pemecahan masalah.
3.
Respon Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Model CORE
Respon siswa terhadap pembelajaran CORE positif, yakni
sebanyak 97% siswa menyatakan bahwa mereka lebih merasa nyaman belajar dengan
model CORE dibandingkan belajar dengan model konvensional. Berdasarkan hasil
angket dan wawancara terungkap fakta bahwa pembelajaran dengan model CORE melalui keempat sintaksnya yakni Connecting, Organizing, Reflecting dan
Extending mampu membuat siswa berpikir positif mengenai matematika dan
soal-soal pemecahan masalah. Model CORE juga mengurangi rasa jenuh terhadap
pelajaran matematika. Namun sayangnya,
model CORE tidak mampu menumbuhkan motivasi pada diri siswa secara signifikan sehingga
siswa seringkali malas mengerjakan tugas dan mengkaji ulang materi yang telah
didapatkan di rumah. Motivasi belajar siswa
hanya timbul di sekolah saat pembelajaran berlangsung.
Selain motivasi
yang rendah, sempitnya waktu pembelajaran di kelas terkadang membuat
kesulitan-kesulitan belajar siswa di sekolah tidak sempat mendapatkan jawaban
secara utuh. Siswa malas bertanya ketika mereka mengalami kesulitan dan membawa
kesulitan itu ke rumah hingga pada saat materi berikutnya diberikan sehingga kesulitan
dan kebingungan siswa semakin tertumpuk. Untuk meningkatkan motivasi siswa dan
mengatasi kesulitan belajar siswa secara signifikan perlu diadakan penelitian
dan pengkajian terhadap motivasi siswa sebelum pembelajaran dengan model CORE
dilakukan.
F. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan
hasil penelitian pada salah satu SMP Negeri di kota Bandung yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. (1)
Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CORE terbukti mengalami peningkatan
kemampuan pemecahan masalah. (2) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CORE lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model konvensional. (3) Siswa
memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan model CORE.
REFERENSI
Arniati dan Dewi, A.Y. (2010). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika.
Tesis SPS Universitas Negeri Padang: tidak Diterbitkan. [Online] Tersedia:
http://rian.hilman.web.id/?p=52 [2 November 2011]
Fadillah, S.
(2008). Menumbuhkembangkan Kemampuan
Pemecahan Masalah
dan Representasi Matematika Melalui Pembelajaran Open Ended. [Online]. Tersedia: http://fadillahatick.blogspot.com/ [20 Oktober 2011]
dan Representasi Matematika Melalui Pembelajaran Open Ended. [Online]. Tersedia: http://fadillahatick.blogspot.com/ [20 Oktober 2011]
Harmsen, D.
(2005). Journal Critique#2. [Online].
Tersedia :www.\\tsclient\A\Daniel Harmsen.html [9 Maret 2011]
Jacob, C. (2005). Pengembangan Model ‘CORE’ dalam
Pembelajaran Logika dengan Pendekatan Reciprocal Teaching’ bagi siswa SMA
Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang (Laporan Piloting). Bandung:
FPMIPA UPI
NCTM. (2000). Principles and Standars for School
Mathematics. [Online]. Tersedia: www.nctm.org [10 April 2011]
Newell, A. &
Simon, H. (1971). Human Problem Solving.
[Online]. Tersedia: http://www.cog.brown.edu/courses/cg195/pdf_files/fall07/Simon
and Newell (1971).pdf [20 November 2011]
Nursidik, Y. (2008). Metode Diskusi Pembelajaran. [Online].
Tersedia:
http://gapurapangarti.blogspot.com/2008/05/metode-diskusi-pembelajaran.html [18
Mei 2010]
OECD, (2010), PISA 2009 at
Glance. OECD Publishing. [Online]. Tersedia: www.oecd.org/dataoecd/31/28/46660259.pdf. [6 Juni 2012]
Polya,
G. (1945). How to solve it: a new aspect
of mathematics method (2nd ed) Princenton, New Jersey :
Princenton University Press.
Rizali, A.
(2008). Buta Matematika dan Ujian Nasional. [Online]. Tersedia:
suaraguru.wordpress.com [18 Maret 2011].
Ruseffendi, E.T.
(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinya Dalam
Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Setyowati, N. (2011). Strategi
Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi. [Online]. Tersedia: http://www.nanik.al-unib.net/2011/02/strategi-pembelajaran-aktif-di-perguruan-tinggi/ [18 Mei 2010]
Subakti, J.
(2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran
dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMU Melalui Pendekatan Pembelajaran
Berbasis Masalah. Tesis SPS UPI : tidak diterbitkan.
Sumarmo, U.
(2010). Berpikir Disposisi Matematik:
Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI:
tidak diterbitkan.
Tresnawati, Y.
(2006). Penerapan Model “CORE” dengan
Pendekatan Keterampilan Metakognitif pada Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
SMA. Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan.
asslakum.. maaf kak.. punya buku tentang model pembelajaran core???
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusass, kakk saya mau info tentang buku core???
BalasHapus