Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 20 Desember 2011

Masalah Pokok Matematika dan Solusinya


Oleh Anisa Wijayanti
 
A. Pentingnya Matematika
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pentingnya matematika, terlebih dahulu akan sedikit dibahas mengenai pengertian dari matematika. NRC (Fahmi, 2011) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). Sementara itu, De Lange (Fahmi, 2011) menyatakan lebih terinci bahwa Mathematics could be seen as the language that describes patterns – both patterns in nature and patterns invented by the human mind. Those patterns can either be real or imagined, visual or mental, static or dynamic, qualitative or quantitative, purely utilitarian or of little more than recreational interest. They can arise from the world around us, from depth of space and time, or from the inner workings of the human mind.
Wikipedia menyebutkan bahwa matematika secara umum didefinisikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Secara informal dapat juga disebut ilmu tentang bilangan dan angka. Dalam pandangan formalis matematika adalah perubahan struktur abstrak yang didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika simbolik dan notasi matematika. Jadi, dari pernyataan diatas jelas menyebutkan bahwa matematika adalah ilmu yang membahas pola, tingkatan, yang berhubungan dengan pikiran manusia.
 Ilmu matematika diantaranya meliputi aritmatika, geometri, aljabar dll sehingga banyak manfaat  matematika untuk ilmu pengetahuan lain dan juga untuk kehidupan, misalnya: 1) kombinasi (statistika) bisa digunakan untuk mengetahui banyaknya formasi tim bola voli yang bisa dibentuk. 2) aritmatika hampir digunakan setiap hari, yaitu untuk hitung-menghitung. 3) geometri bisa digunakan para ahli sipil karena geometri salah satunya adalah membahas tentang bangun dan keruangan. 4) aljabar bisa digunakan untuk memecahkan masalah bagaimana memperoleh laba sebanyak mungkin dengan biaya sesedikit mungkin. Pada faktanya, matematika kita pakai dalam kegiatan sehari-hari seperti dalam kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Demikian pentingnya, matematika juga dijuluki sebagai queen of sciences (ratunya para ilmu) sekaligus juga pelayannya. Dalam ilmu-ilmu sains khususnya, matematika memiliki peranan yang cukup penting, dengan belajar matematika kita dilatih untuk senantiasa berpikir logis dan kritis dalam memecahkan permasalahan. Selain itu, kejujuran, ketekunan dan keuletan kita juga akan terlatih dengan matematika.
            Menyadari betapa perlu dan dekatnya matematika dengan kehidupan kita sehari-hari, sudah barang tentu mempelajarinya pun adalah penting. Pentingnya matematika, setidaknya dapat kita lihat dalam kurikulum matematika di sekolah mendapat porsi jam lebih banyak di bandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) pelajaran matematika itu ada dan dipelajari baik secara global maupun spesifik,  bahkan pada jenjang prasekolah pun, matematika sudah mulai diperkenalkan.

B. Masalah Pendidikan Matematika dan Solusinya
            Berbicara mengenai kondisi pendidikan matematika di Indonesia maka kita akan dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan dan carut marutnya pendidikan di Indonesia. Fakta-fakta di lapangan menyebutkan bahwa kemampuan matematis siswa Indonesia masih sangat rendah. Hal ini berdasarkan hasil tes Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) siswa Indonesia kurang dari satu persen di bawah rata-rata internasional yaitu sebesar dua persen sedangkan siswa di negara Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura di atas 40 persen (Rizali, 2008).Hasil penelitian lain yang dipaparkan dalam sebuah diskusi terbatas pada tahun 2011 di ITB oleh Iwan Pranoto (mikafip.com, 2011) menunjukkan, 76,6 persen siswa Indonesia setingkat sekolah menengah pertama (SMP) ternyata 'buta' matematika. Ironisnya, kondisi tersebut ditemukan di tengah berbagai prestasi anak Indonesia dalam olimpiade-olimpiade sains internasional. Studi lainnya dari The Program for International Student Assessment (PISA) pada 2010 (mikafip.com, 2011) memperlihatkan kondisi serupa. Posisi Indonesia ada di peringkat ketiga dari bawah, lebih baik daripada Kirgistan dan Panama.
Menurut pendefinisian level profisiensi matematika dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad 21.
            Berdasarkan fakta  yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai rendahnya kemampuan matematika di Indonesia, maka lebih lajut kita akan membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan matematika siswa di Indonesia sekaligus membahas solusinya dipandang dari empat komponen pembelajaran matematika yakni: a) kondisi siswa, b) kondisi guru matematika di Indonesia, c) fasilitas sarana dan prasarana pembelajaran, d) kurikulum pendidikan matematika. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

a.  Kondisi Siswa
            Karakteristik matematika  yang sangat khas, menyebabkan siswa harus bekerja keras untuk dapat melihat keindahan atau daya tariknya. Bagi siswa yang kurang aktif atau bahkan malas tentu saja hal ini akan menyebabkan dia menjadi semakin tidak berminat lagi terhadap matematika. Ada beberapa sumber atau faktor yang patut diduga sebagai penyebab utama kesulitan belajar siswa. Sumber itu dapat berasal dari dalam diri siswa sendiri maupun dari luar diri siswa. Dari dalam diri siswa dapat disebabkan oleh faktor biologis maupun psikologis. Dari luar diri siswa, kesulitan belajar dapat bersumber dari keluarga (pendidikan orang tua, hubungan dengan keluarga, keteladanan keluarga dan sebagainya), keadaan lingkungan dan masyarakat
secara umum. Kesulitan belajar tidak dialami hanya oleh siswa yang berkemampuan di bawah rata-rata atau yang dikenal sungguh memiliki learning difficulties, tetapi dapat dialami oleh siswa dengan tingkat kemampuan manapun dari kalangan atau kelompok manapun. Tingkat dan jenis sumber kesulitannya beragam. Mengutip Brueckner dan Bond, Cooney, Davis, dan Henderson (1975) mengelompokkan sumber kesulitan itu menjadi lima faktor, yaitu:
a)      Faktor Fisiologis
Kesulitan belajar siswa dapat ditimbulkan oleh faktor fisiologis. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa persentase kesulitan belajar siswa yang mempunyai gangguan penglihatan lebih dari pada yang tidak mengalaminya. Demikian pula kesulitan siswa yang mempunyai gangguan pendengaran lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya. Hal yang serupa juga terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan neurologis (sistem syaraf). Sistem koordinasi sistem syaraf yang terganggu merupakan kendala dalam siswa belajar. Untuk menanggulangi hal ini sebaiknya guru bekerjasama dengan pihak orangtua murid untuk mengetahui kondisi fisiologis siswa. jika terlihat tanda-tanda yang ganjil dari siswa, segera lakukan identifikasi masalah dan berkoordinasi dengan orang tua murid.
b)      Faktor Sosial
Seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh perlakuan orang tua terhadapnya. Anak yang mengalami perhatian terkait bidang akademik yang dijalaninya akan lebih termotivasi untuk belajar jika dibandingkan dengan anak yang dibiarkan begitu saja menjalani hari-harinya bersekolah tanpa kepedulian orang tua. Di samping itu ekonomi keluarga pun merupakan faktor sosial yang harus dihadapi anak. Anak yang terlahir di keluarga tidak mampu mendapatkan fasilitas belajar yang tentu sangat berbeda dengan anak dari keluarga yang mapan. Hal ini sudah tentu mempengaruhi perkembangan anak dalam belajar matematika. Dalam mengatasi masalah ini guru matematika sebaiknya  masalahnya dikaji dan penyelesaiannya mungkin memerlukan bantuan wali kelas, guru bimbingan atau pihak luar yang lebih memahami masalah siswa tersebut.
c)      Faktor Emosional
Siswa yang sering gagal mengikuti pelajaran matematika akan memiliki kecemasan yang tinggi saat belajar. Kecemasan ini membuat siswa tidak bisa berpikir rasional sehingga hasil belajarnya akan semakin memburuk. Faktor emosional juga dipengaruhi oleh obat-obatan terlarang yang dikonsumsi siswa, kurang tidur, hubungan antarpersonal yang kurang baik dan tekanan-tekanan lain yang dirasakan siswa. Mengutip Teaching About Drug Abuse (1972:22-26), Cooney dkk (1975) dinyatakan bahwa siswa yang mengkonsumsi pil ekstasi kemalasannya naik luar biasa, kadang-kadang menunjukkan perangai yang tidak rasional, depresi, tak sadar, atau sebaliknya: tertawa-tawa. Tampilannya berubah tiba-tiba, kesehatan menurun. Akibatnya siswa akan kurang menaruh perhatian terhadap pelajaran, atau mudah mengalami depresi mental, emosional, kurang ada minat membaca buku maupun menyelesaikan pekerjaan rumah. Penanganan kesulitan belajar yang disebabkan oleh hal-hal di atas sebaiknya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi, baik psikologis, medis maupun agamis.
d)     Faktor Intelektual
Siswa terlahir dengan kemampuan yang berbeda-beda. Siswa yang memiliki kemampuan daya tilik ruang, menganalisis, dan membangun konsep-konsep yang abstrak akan lebih mudah mempelajari matematika bila dibandingkan dengan siswa yang kurang memiliki kemampuan tersebut. Dalam menanggulangi masalah ini, maka guru matematika sebaiknya melakukan pendekatan dan strategi yang bisa menjangkau semua murid dan berkonsolidasi dengan pihak orang tua murid.
e)      Faktor Pedagogis
Di antara penyebab kesulitan belajar siswa yang sering dijumpai adalah faktor kurang tepatnya guru mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologi. Misalnya guru masih kurang memperhatikan kemampuanawal yang dimiliki siswa, guru langsung masuk ke materi baru. Ketika terbentur kesulitan siswa dalam pemahaman, guru mengulang pengetahuan dasar yang diperlukan. Kemudian melanjutkan lagi materi baru yang pembelajarannya terpenggal. Jika ini berlangsung dan bahkan tidak hanya sekali dalam suatu tatap muka, maka akan muncul kesulitan umum yaitu kebingungan karena tidak terstrukturnya bahan ajar yang mendukung tercapainya suatu kompetensi. Dalam mengatasi masalah ini diperlukan kejelian guru dalam mengevaluasi setiap metode/ strategi yang dilakukannya dikaitkan dengan ketercapaian tujuan belajar.

b. Kondisi Guru Matematika di Indonesia
 Yohanes Surya memaparkan (yohanessurya.com, 2011) bahwa selama  melatih ribuan guru-guru matematika  di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dia menemukan  perbedaan yang cukup mencolok dari segi kualitas antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah terutama daerah tertinggal. Guru di kota besar terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya.  Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya, bahkan ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran.    
Guru-guru memaparkan bahwa mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal olimpiade matematika masih dirasakan terlalu berat untuk mereka. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.  Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya  sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri, namun kesempatan untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan masih sangat kurang, bahkan hampir tidak ada sama sekali.  Seorang guru dari desa di Pulau Jawa mengaku ia baru menyadari bahwa selama ini dia mengajar dengan konsep yang salah. Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sangat monoton. Ia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kualitas guru dan pengajar yang rendah ini juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Berdasarkan berbagai komentar dari para guru dan pemantauan di lapangan yang dilakukan oleh Yohanes Surya,pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru matematika di daerah pinggiran atau daerah tertinggal adalah : 1) mereka sadar kekurangan mereka; 2) mereka punya kemampuan untuk berkembang asal diberikan kesempatan; 3) mereka punya keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik; 4) mereka punya jiwa pendidik  yang ingin membuat anak didiknya berhasil; 5) mereka memerlukan tambahan sarana berupa alat demonstrasi matematika+pelatihan menggunakan alat untuk membuat pelajaran menjadi lebih menarik; 6). secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dalam mendidik anak. Jadi sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik, mereka punya hati, mereka punya keinginan maju tetapi mereka butuh bantuan, dukungan dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

c. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung dari kualitas guru juga harus ditunjang dengan sarana fisik yang memadai. Tapi sayangnya, hingga sekarang ini sarana fisik pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai, seperti bangunan sekolah, fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana fisik ini padahal sangat vital dalam kegiatan proses belajar mengajar Elisabet (Prasetiwi, 2009).  Sekolah yang ideal merupakan sekolah dimana segala fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung layak dan memadai, adanya tenaga pendidik yang profesional, dan peserta didik yang aktif. Sekolah yang baik, selain unggul di dalam proses belajar mengajar, juga unggul pada hasilnya. Setiap orang punya pendapat tersendiri mengenai kata “ideal”, begitu pula dalam menginterpretasikan sekolah ideal. Pada tahun 2008 pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN untuk tahun berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai dengan alokasi 20% APBN tersebut antara lain adalah meningkatnya akses dan pemerataan pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun yang berkualitas. Berkualitas di sini meliputi sarana prasarana, tenaga pendidik, peserta didik, dan output yang dihasilkan. (Rahmah, 2011)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas pada tahun 2009 (sampoernafoundation.org) terdapat 114,228 sekolah dasar, 28,777 sekolah menengah pertama dan hanya 18,354 sekolah menengah di Indonesia. Hal ini mencerminkan kondisi terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Walaupun jumlahnya telah meningkat di tahun 2011, namun kemungkinan peningkatan sarana dan prasarana untuk tingkat sekolah menengah sangat kecil, karena fokus pemerintah dan masyarakat pada umumnya saat ini masih pada tingkat sekolah dasar. Dari sejumlah angka tersebut, kenyataan di lapangan banyak sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak (karena kondisi bangunan sudah tua atau karena kurangnya perhatian dari pemerintah). Contohnya pada tanggal 2 Februari 2009 sebuah kelas di Sekolah Dasar Karya Bakti, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, roboh. Peristiwa robohnya bangunan kelas ini terjadi pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung (liputan6.com). Tanggal 11 Maret 2009 terjadi penarikan bangku oleh perajin dari SD di Bululawang karena pihak perajin belum memerima uang pembayaran dari pemerintah selama tiga tahun, sejak 2006 (Berita Pendidikan.com).
Kerusakan bangunan sekolah dan kurangnya sarana pendidikan akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak akan merasa tidak nyaman dalam belajar. Sebaliknya jika sarana pendidikan memadai maka peserta didik akan merasa nyaman dalam belajar, dapat meningkatkan semangat belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar Lhani,(Prastiwi, 2009).
Hal lain yang harus disoroti adalah tidak meratanya sarana dan prasarana serta akses menuju sekolah antar sekolah yang berada di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa (Rais, 2007). Tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan ini berakibat pada timpangnya mutu pendidikan antar daerah di luar Pulau Jawa dan di Pulau Jawa, hal ini tentu berdampak pula pada mata pelajaran matematika. Masalah lain yang timbul di lapangan adalah masalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah (Wahyu, 2011). Keterbatasan daya tampung sangat berpengaruh dalam proses pemerataan pendidikan. Banyak sekolah yang memiliki daya tampung tak seimbang dengan jumlah murid yang diterima saat penerimaan murid baru. Akibatnya, proses belajar mengajar pun menjadi kurang maksimal.
Setelah memaparkan tentang bobroknya sistem pendidikan yang mengatur sarana dan prasarana pendidikan. Maka perlu diketahui pula sarana dan prasarana apa saja yang harus dimiliki oleh sekolah. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut.
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. tempat beribadah,
7. ruang UKS,8. jamban,
9. gudang,
10. ruang sirkulasi,
11. tempat bermain/berolahraga.
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. ruang tata usaha,
7. tempat beribadah,
8. ruang konseling,
9. ruang UKS,
10. ruang organisasi kesiswaan,
11. jamban,
12. gudang,
13. ruang sirkulasi,
14. tempat bermain/berolahraga.
Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut.
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium biologi,
4. ruang laboratorium fisika,
5. ruang laboratorium kimia,
6. ruang laboratorium komputer,
7. ruang laboratorium bahasa,
8. ruang pimpinan,
9. ruang guru,
10. ruang tata usaha,
11. tempat beribadah,
12. ruang konseling,
13. ruang UKS,
14. ruang organisasi kesiswaan,
15. jamban,
16. gudang,
17. ruang sirkulasi,
18. tempat bermain/berolahraga.
            Upaya pemerataan sarana dan prasarana pendidikan terus dilakukan salah satunya dengan program BOS yang diperuntukkan bagi biaya operasinal sekolah, kebijakan keberadaan komite sekolah juga merupakan basis perkumpulan orang tua murid dan masyarakat setempat sebagai pengontrol keberadaan sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah. Komite sekolah diberi keleluasaan untuk mencari solusi jika sarana dan prasarana pembelajaran dirasa kurang memadai. Komite sekolah dan pihak sekolah bisa mengajukan proposal renovasi sekolah pada Dinas Pendidikan setempat dan jika pemerintah tidak menanggapi permohonan untuk jangka waktu yang lama, maka masyarakat diperbolehkan mengambil inisiatif untuk memperbaiki saranadan prasarana secara swadaya.
d. Kurikulum Pendidikan Matematika.
Kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis (Fadil, 2010). Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (Fadil, 2010) mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”.
Membahas mengenai masalah kurikulum matematika di Indonesia, beberapa ahli matematika mengatakan bahwa kurikulum matematika telah melenceng, pendapat ini diutarakan oleh Arief Rahman (mathbuletin.com) yang mengatakan bahwa matematika yang diajarkan dinilai tidak sesuai lagi dengan falsafah ilmu matematika itu sendiri karena lebih menekankan pada hasil yang dikerjakan secara cepat tanpa memperhatikan proses berpikir. Saladin Utunggadewa, membenarkan penilaian Arief. Menurut Saladin, saat ini sudah terjadi penyelewengan pembelajaran kurikulum matematika yang diakibatkan metodelogi pembelajaran yang mengajarkan rumus praktis. Iwan Pranoto (kompas.com) mengatakan praktik pendidikan matematika di Indonesia dinilai masih terpusat untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke pendidikan tingkat tersier. Semestinya, dunia di abad 21 ini, pembelajaran matematika yang paling utama adalah pembelajaran yang berfungsi efektif di kehidupan sehari-hari sebagai warga negara yang peduli, konstruktif, dan pandai bernalar.
Jika dikaji lebih lanjut, permasalahan yang muncul diatas adalah permasalahan yang memang bersumber dari kurikulum matematika Indonesia yang semakin berat dari waktu ke waktu namun tidak diimbangi dengan strategi belajar mengajar yang baik. Menyikapi hal ini, guru matematika tentu memiliki beban yang tidak sedikit. Beban kurikulum yang padat dan berat harus disampaikan kepada siswa dan siswa harus menerima dan melahap semuanya. Mengatasi hal tersebut, guru matematika tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah kurikulum namun guru bisa mensiasati proses belajar mengajar dengan memilih strategi belajar yang tepat. Strategi belajar yang mampu membuat siswa memahami matematika dan membuat keterkaitan antar konsep sehingga belajar matematika menjadi lebih bermakna. Dengan belajar bermakna kurikulum seberat apapun akan bisa diikuti dan dipahami oleh siswa.
Mensiasati kurikulum dengan strategi belajar, akan menimbulkan masalah baru. Guru matematika yang tidak memahami banyak strategi dan bagaimana cara menerapkannya secara tepat akan kesulitan dan pada akhirnya akan menerapkan metode konvensional yang membuat siswa merasakan matematika sebagai beban dan menjemukan. Disinilah pelatihan-pelatihan dan workshop untuk para guru sangat diperlukan. Jika hal ini sulit, maka guru disarankan untuk melakukan banyak diskusi untuk memperluas pengetahuan. Perlu kesadaran dari guru matematika untuk selalu memperbaiki kinerja mereka.

3 komentar:

  1. mksh mb atas bcaanxa..alhamdulillah sgt bermanfaat sekali

    BalasHapus
  2. good artikelnya.. jgn lupa mampir di blog ane ya, www.anharalfian.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Matur Suwun, , atas infonya.

    BalasHapus