Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 22 Desember 2011

Metode Runge Kutta


Oleh Anisa Wijayanti
Metode runge kutta adalah metode yang digunakan untuk menyelesaikan Masalah Nilai Awal (MNA) dalam persamaan diferensial.
Hampiran Runge Kutta Orde 3 didefinisikan oleh rumus-rumus berikut.
k1= hf(xi,yi)
k2= hf(xi+1/2h++1/2k1)
k3= hf(xi+h,yi+2k2-k1)
yi+1=yi+1/6(k1+4k2+ k3)
Proses ini diulangi terus sampai memperoleh nilai untuk titik yang diinginkan.
Hampiran Runge Kutta Ordo 4 didefinisikan oleh rumus-rumus berikut.
l1=h f(xi,yi)
l2= hf(xi+1/2h,yi+1/2l1)
l3= hf(xi+1/2h,yi+1/2,l2)
l4= hf(xi+h, yi+l3)
yi+1=yi+1/6(l1+2l2+2l3+ l4)
Proses ini diulangi terus sampai memperoleh nilai untuk titik yang diinginkan.
Penggunaan Metode Runge Kutta secara manual sedikit merepotkan karena banyaknya iterasi yang harus dilakukan, karena itu metode Runge Kutta bisa dilakukan dengan penggunaan Pascal, contoh penggunaannya adalah sebagai berikut
Dalam semua soal buatlah ketelitian sampai empat angka dibelakang koma. Gunakan hampiran Runge Kutta Ordo-3 dengan h=0,2 untuk menyelesaikan MNA-MNA pada 0≤x≤1 dalam latihan 1 sampai 4!
1. y’=3x+2y, y(0)=1 Klik disini!
2. y’= y2+2y-x, y(0)=0 Klik disini!
3. y’=x-4y, y(0)=0 Klik disini!
4. y’=2xy-x2 , y(0)=0 Klik disini!
Bentuk printscan hasilnya bisa dilihat  disini! dan disini!
Semoga ini bermanfaat untuk sahabat-sahabat semua,amiin.






Selasa, 20 Desember 2011

Masalah Pokok Matematika dan Solusinya


Oleh Anisa Wijayanti
 
A. Pentingnya Matematika
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pentingnya matematika, terlebih dahulu akan sedikit dibahas mengenai pengertian dari matematika. NRC (Fahmi, 2011) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). Sementara itu, De Lange (Fahmi, 2011) menyatakan lebih terinci bahwa Mathematics could be seen as the language that describes patterns – both patterns in nature and patterns invented by the human mind. Those patterns can either be real or imagined, visual or mental, static or dynamic, qualitative or quantitative, purely utilitarian or of little more than recreational interest. They can arise from the world around us, from depth of space and time, or from the inner workings of the human mind.

Sabtu, 17 Desember 2011

“Untukmu Bintang”

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6OSZZFnpKIcUolzIrDecWPOjiMNgUZiqwoDC1thaay8Gm7vIU3Wbov1Rz-Kcbdk6UtMt0dup2awXPRov-FNUnvrQh2v8VpRuXAAQJYS7pG_bjdU4FHbb52IGKivRBVWWdQjloLpYj2FE/s1600/bagaimanakah-cara-membedakan-antara-planet-and-bintang-jikalau-dilihat-dari-bumi.jpg


 
Oleh Anisa Wijayanti
Apa yang hilang sayang?
Terang tetap tak hilang dalam bintang.
Apa yang kau takutkan sayang?
Baju kesedihan dan gelap telah kau tanggalkan tadi malam,
Tertinggal dalam senyap 2008 yang tertidur panjang
Lupakan!
Berlarilah untuk bintang!
Agar kau tetap cemerlang,
Tak pernah pudar,
Malam tetap berjalan sayang,
Gelap tak selamanya datang,
Dia melangkah pelan menuju terangnya siang,
Jangan kau takutkan!
Cinta tetap berdentang sayang
Dalam alunan hari menunggu dentingan lonceng kematian,
Jangan kau ragukan!
Tetaplah berjalan sayang
Tinggalkan kenangan yang menjadi rintangan
Temukan bintang!
 Yang hanya untukmu sayang,

Terima kasih untuk semangat yang selalu kalian berikan, keluargaku

Faktor-faktor yang mempengaruhi reliabilitas

Klik disini!

Pengertian Paragraf,Jenis-jenis dan Unsurnya

Klik disini!

Jumat, 16 Desember 2011

Contoh Pembelajaran Kontekstual



Pembelajaran Kontekstual  adalah pembelajaran yang dilakukan dengan konteks kehidupan sehari-hari dengan menghubungkan pengamatan dengan sistem persamaan linear dua variabel, laju penurunan volum dan laju penurunan luasnya.

Contoh Proposal Skripsi

Bagi teman-teman yang tengah mengontrak skripsi dan bingung dengan format proposal skripsi, berikut contoh proposal skripsi yang saya buat.
 

I PENDAHULUAN
A. Judul
Penerapan Pembelajaran dengan Strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP
B. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah salah satu mata pelajaran wajib dalam jenjang pendidikan di Indonesia. Sebagai salah satu disiplin ilmu, matematika menyumbangkan pengaruh besar dalam berbagai segi kehidupan mulai dari ilmu hitung sampai penggunaan teknologi berdasarkan pengembangannya.  Depdiknas (Ely, 2010: 1) mengatakan “Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini”. 
“Aktivitas matematika seperti solving problems, looking for problems dan organizing a subject matter  merupakan bagian dari aktivitas manusia” (Gravemeijer, 1994: 82). Konsep-konsep matematika merupakan bagian dari aktivitas manusia yang kemudian disadari dan dikembangkan menjadi suatu pengetahuan yang selanjutnya digunakan untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Sabandar, 2007). Ini menunjukan begitu dekatnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kenyataannya kedekatan ini belum bisa dirasakan oleh sebagian besar pelajar di Indonesia. Ini sesuai pendapat Ruseffendi (1984) bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi anak. Senada dengan itu matematika merupakan sesuatu yang menakutkan atau bahkan sangat menakutkan dan sedapat mungkin untuk menghindarinya (Sharp, 1981). Yuwono (Hadi, 2009), mengemukakan bahwa sudah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya kualitas pendidikan matematika di sekolah, namun belum menampakkan hasil yang memuaskan, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari hasil   prestasi belajar siswanya. Ini sesuai pendapat Beagle (1979) bahwa sikap positif terhadap matematika berkorelasi dengan hasil belajar matematika. Artinya, saat sikap positif siswa terhadap matematika tidak ada maka hasil belajarnya pun tidak akan baik.
     Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yakni berdasarkan pendapat dari Sabandar, ketertarikan terhadap matematika bisa ditumbuhkan dengan membuat hubungan yang erat antara matematika dan kehidupan. Kemampuan membuat pola-pola hubungan ini disebut dengan kemampuan koneksi matematis. Seperti yang diungkapkan oleh Ruspiani (2001: 68) bahwa ”Kompetensi koneksi matematis adalah suatu kemampuan menghubungkan antar topik matematika, topik matematika dengan bidang lain dan topik matematika dengan kehidupan sehari-hari”. Namun, Setiawan (2009) mengungkapkan bahwa kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam melakukan koneksi masih tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh penelitian Ruspiani (2001) yang mengelompokan siswa berdasarkan kategori tinggi, sedang, rendah, untuk setiap jenis koneksi yaitu koneksi antar topik matematika, koneksi matematika dengan ilmu lain, dan koneksi matematika dengan dunia nyata dalam rangka mengungkap kemampuan koneksi matematis siswa. Hasil penelitian Ruspiani (2001: 67) adalah sebagai berikut.
        Dari 69 siswa SMP yang dijadikan subjek penelitian, kemampuan siswa    dalam   melakukan koneksi antar topik matematika ada 4 siswa (5,8%) yang tergolong memiliki kemampuan tinggi, 3 siswa (4,3%) memiliki kemampuan sedang dan 62 siswa (89,9) memiliki kemampuan rendah, kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematik dengan disiplin ilmu lain ada 3 siswa (4,3%) tergolong memiliki kemampuan tinggi, 7 siswa (10,1%) memiliki kemampuan sedang dan 59 siswa (85,5%) memiliki kemampuan rendah, kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematik dengan dunia nyata ada 24 siswa (34,8%) yang tergolong memiliki kemampuan tinggi, 12 siswa(17,4%) memiliki kemampuan sedang dan 33 siswa (47,8%) memiliki kemampuan rendah.
  Data di atas atas menujukan bahwa siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam melakukan koneksi matematis untuk setiap jenisnya sangat sedikit. Hal ini serupa dengan penelitian Pujiati (2007) yang menunjukan bahwa kemampuan koneksi matematis masih tergolong rendah. Padahal kemampuan koneksi penting untuk membuat siswa faham akan keterkaitan materi yang dipelajari dalam matematika. Pemahaman matematik adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, hal ini memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan memahami siswa dapat lebih mengerti  konsep materi pelajaran itu sendiri. Untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: 1) objek itu sendiri; 2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; 3) relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; 4) relasi-dual dengan objek lainnya yang sejenis; 5) relasi dengan objek dalam teori lainnya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan koneksi (Herdian, 2010).
Sementara itu ditengah pentingnya pemahaman siswa akan matematika secara lengkap, sebuah fakta menyatakan bahwa ”Baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitif siswa, skor kemampuan pemahaman dan penalaran matematis sangat rendah. Dikarenakan kurangnya pemahaman konsep-konsep matematika. Siswa akan kesulitan memahami dan menyelesaikan soal-soal yang merupakan alat untuk melihat prestasi belajar siswa” Sumarmo (Situmorang, 2010). Oleh karena itu, berkaitan dengan proses pembelajaran disekolah perlu dilakukan perubahan. Setiap ide yang disampaikan di ruang kelas dapat dan harus dipahami oleh setiap siswa secara lengkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Van de Walle (Situmorang,  2007) yang menyatakan bahwa para siswa harus belajar matematika dengan secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. 
Van de walle (Situmorang, 2007) menambahkan hal yang paling mendasar dalam matematika adalah matematika dapat dipahami dan masuk akal artinya:
1.      Setiap hari siswa harus mendapatkan pengalaman bahwa matematika masuk akal.
2.      Para siswa siswa harus percaya bahwa mereka mampu memahami matematika.
3.      Para guru harus menghentikan cara mengajar dengan memberitahu segalanya kepada siswa dan harus mulai memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami matematika yang sedang mereka pelajari.
Sehubungan dengan hal itu maka proses pembelajaran matematika di kelas sudah seharusnya dilakukan perubahan. Konsep matematika harus dibangun dengan pemahaman siswa itu sendiri. Hal yang harus dilakukan guru adalah bagaimana mendorong siswa untuk berfikir, bertanya, memecahkan masalah, mengemukakan ide, mendiskusikan ide bahkan menemukan sesuatu yang baru. Sebagaimana dikemukakan Van de Walle (2007: 6) yang mengatakan bahwa “Guru harus mengubah pendekatan pengajarannya dari pengajaran berpusat pada guru menjadi pengajaran berpusat pada siswa”. Artinya guru perlu mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika, menjadikan logika dan bukti matematika sebagai pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk menuntaskan kebenaran. Mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, mementingkan membuat dugaan, penemuan dan pemecahan soal dan menjauhkan dari tekanan pada penemuan jawaban secara mekanis. Mengaitkan matematika, ide-ide dan aplikasinya dan tidak memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terpisah-pisah.
Lebih lanjut Schonfeld (Sumarmo, 2002: 631) menambahkan bahwa “Matematika merupakan proses yang aktif, dinamik, generatif dan eksploratif, berarti bahwa proses matematika dalam penarikan kesimpulan merupakan  kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan pemahaman tingkat tinggi”. Artinya proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, dinamik dan eksploratiflah yang sesuai dengan pembelajaran matematika sehingga meningkatkan pemahaman matematika siswa kemampuan membangun hubungan (koneksi) siswa. Oleh karena itu dipilihlah strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kemampuan koneksi siswa.
Muslich, (Yuliawati 2011) mengungkapkan bahwa strategi REACT dijabarkan oleh COR (Center of Occupational Research)  di Amerika yang dari lima strategi yang harus tampak yaitu: Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying (Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama), Transferring (Mentransfer). Relating (mengaitkan) adalah pembelajaran dengan mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan konteks pengalaman kehidupan nyata atau pengetahuan yang sebelumnya. Experiencing (mengalami) merupakan pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan matematika (doing math) melalui eksplorasi, penemuan dan pencarian. Berbagai pengalaman dalam kelas dapat mencakup penggunaan manipulatif, aktivitas pemecahan masalah, dan laboratorium. Applying (menerapkan) adalah belajar dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk digunakan, dengan memberikan latihan-latihan yang realistik dan relevan. Cooperating (bekerjasama) adalah pembelajaran dengan mengkondisikan siswa agar bekerja sama, sharing, merespon dan berkomunikasi dengan para pembelajar yang lainnya. Kemudian Transferring (mentransfer) adalah pembelajaran yang mendorong siswa belajar menggunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya ke dalam konteks atau situasi baru yang belum dipelajari di kelas berdasarkan pemahaman.
Berdasarkan keterkaitan antara pembelajaran dengan strategi REACT dan permasalahan rendahnya kemampuan koneksi matematis siswa SMP maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ” Penerapan strategi Relating, Experiencing, Aplying, Cooperating, Transferring (REACT)  terhadap kemampuan koneksi matematis siswa SMP”.


C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT lebih baik daripada kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional?
2.      Bagaimanakah sikap siswa terhadap penerapan pembelajaran matematika dengan menggunakan atrategi REACT?

D. Pentingnya Masalah
Permasalahan di atas penting untuk dipecahkan karena jika tidak segera dipecahkan, maka matematika akan tetap menjadi pelajaran yang tidak bisa dimaknai dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari siswa padahal matematika adalah ilmu yang sangat berpengaruh terhadap penguasaan di bidang teknologi yang akan berdampak pada kemajuan bangsa Indonesia.

E. Studi Literatur
1. Strategi REACT
        CORD (Marthen, 2010) menjelaskan bahwa REACT merupakan akronim dari sebuah  strategi pembelajaran dengan lima aspek yang merupakan satu kesatuan yaitu menghubungkan (Relating), melakukan pencarian dan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa secara aktif untuk menemukan makna konsep yang dipelajari (Experiencing), penerapan pengertian matematika dalam penyelesaian masalah (Aplying), memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara bekerja sama dan berbagi (Cooperating), dan memberikan kepada siswa memberikan transfer pengetahuan matematika dalam penyelesaian masalah matematika maupun di luar matematika (Transfering). Adapun menurut CORD (1999) penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.          Relating yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Dalam hal ini perhatian siswa dikonsentrasikan pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari yang dihubungkan dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
Crawford (Zulmaulida, 2011) menyatakan bahwa relating (mengaitkan/ menghubungkan) merupakan strategi pembelajaran kontekstual yang paling kuat, sekaligus inti konstruktivis. Dalam pembelajaran siswa melihat dan memperhatikan keadaan lingkungan dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikaitkan kedalam informasi baru atau persoalan yang akan dipecahkan. Jadi mengaitkan adalah belajar dalam konteks pengalaman kehidupan nyata seseorang atau pengetahuan yang ada sebelumnya.
b.         Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara aktif/ langsung mengalaminya. Dalam hal ini siswa membutuhkan pengalaman secara langsung untuk menyelesaikan persoalan. Dalam mempelajari suatu konsep, siswa mempunyai pengalaman terutama langkah-langkah dalam mempelajari konsep tersebut. Hal ini bisa diperoleh pada saat siswa mengerjakan LKS, latihan penugasan, dan kegiatan lain yang melibatkan keaktifan siswa dalam belajar. Sehingga dengan mengalami siswa akan lebih mudah memahami suatu konsep.
c.       Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi yang dimiliki siswa dalam konteks yang dipelajari. Pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan konsep-konsep ketika melaksanakan aktivitas pemecahan soal-soal, baik melalui LKS, latihan penugasan, maupun kegiatan lain yang melibatkan keaktifan siswa dalam belajar.
d.      Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan siswa lain. Siswa belajar dengan bekerjasama, saling tukar pendapat (sharing), merespon, dan berkomunikasi dengan pembelajar lainnya. Hal ini, akan sangat membantu siswa dalam mempelajari suatu konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavim (Zulmaulida, 2011) yang memberi pengertian bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbang pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.
e.       Transfering yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, siswa belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Pembelajar sebagai pengguna pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru. Pembelajaran diarahkan untuk menganalisis dan memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dengan menrapkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Strategi REACT perama kali dikembangkan di Amerika Serikat, CORD (1999) merepresentasikan strategi REACT seperti gambar berikut:

Relating
                Experiencing
                                Applying
                                                Cooperating
                                                                Transfering
 







Gambar 1.1
Elemen Essensial dari REACT

2. Pembelajaran dengan Strategi REACT
            Pembelajaran dengan strategi REACT pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat. CORD (1999) mengembangkan strategi REACT seperti dipaparkan dalam tabel berikut.
                                                            Tabel 2.1
Bentuk Pembelajaran dengan Tahapan REACT
Tahap
Harapan
Relating (mengaitkan)
Belajar dalam konteks mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman hidup.
Experiencing (mengalami)
Belajar dalam konteks penemuan dan daya cipta.
Applying (mengaplikasikan)
Belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau informasi dapat digunakan dalam berbagai situasi.
Cooperating (bekerja sama)
Belajar dalam konteks bekerjasama dan komunikasi antar sesame pelajar.
Transfering
Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada atau membina dari apa yang sudah diketahui.
Sumber: http://www.fineprint.com
Adapun penerapan kelima strategi tersebut dalam matematika dijelaskan oleh Crawford (2001) sebagai berikut:

(1) Relating
            Relating adalah salah satu strategi kontekstual yang sangat penting. “Relating is learning in the context of one’s life experiences or preexisting Knowledge” (Crawford, 2001: 3). Seorang guru yang menggunakan relating bisa memulai pelajaran dengan dengan menanyakan pertanyaan yang kira-kira setiap siswa dapat menjawabnya berdasarkan pengalaman mereka. Dalam memulai pelajaran sebaiknya diawali dengan pertanyaan dan fenomena yang menarik bagi siswa. bukan dengan sesuatu yang abstrak atau fenomena diluar persepsi, pemahaman atau pengetahuan siswa. Misalnya pernahkah kalian membuat minuman dari bahan instant, bagaimana perbandingan air dan bahannya?. Sebagai contoh lain, misalnya siswa akan mempelajari tentang luas permukaan balok, maka guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan pada kegiatan-kegiatan berikut:
Pertanyaan pada kegiatan pertama:
a.          Apa bentuk ruangan kelas kita?
b.         Ada berapa buah dindingnya?
c.          Berbentuk apa bentuk bangun dinding kelas kita?
d.         Berbentuk bangun apakah lantai dan atap ruangan kelas kita?
e.          Ada berapa pasang bangun yang sama di ruangan kelas kita?
f.          Berapa luas daerah dinding, atap dan lantainya?
g.         Berapa luas daerah seluruhnya?
Selanjutnya siswa diarahkan untuk membuat balok sesuai ukuran yang siswa inginkan.
Pertanyaan pada kegiatan kedua:
a. Berapa luas kertas karton yang dibutuhkan untuk membuat sebuah balok yang telah kamu buat?
b. Bila panjang balok adalah p satuan, lebarnya q satuan dan tingginya r satuan, bagaimanakah rumus untuk mencari luas permukaan balok tersebut?

(2) Experiencing
            Proses relating menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan siswa. Tapi pendekatan ini tidak akan berhasil jika siswa tidak memiliki pengalaman yang relevan dengan informasi baru yang akan dijelaskan. Untuk membentuk pengalaman siswa, guru menghadirkan pengalaman-pengalaman baru dalam proses pembelajaran di kelas. Strategi ini disebut Experiencing. Crawford (2001:5)  menyatakan bahwa “Experiencing is learning by doing through exploration, discovery, and invention. In-class hands-on experiences can include the use of manipulatives, problem-solving activities, and laboratories”.
            Untuk mengajarkan materi guru bisa melakukan kegiatan pembelajaran dengan mengambil salah satu kegiatan dari alternative berikut: 1) Manipulasi dilakukan dengan membuat suatu model yang merepresentasikan suatu hal yang abstrak, misalnya pengenalan jumlah deret geometri dengan menggunakan alat peraga. 2) Problem solving dilakukan untuk mengajari siswa keterampilan memecahkan permasalahan, berpikir analisis, berkomunikasi dan berinteraksi dalam kelompok, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, jadi berapa kaleng bahan dan berapa gelas air yang dibutuhkan untuk membuat minuman buah instant bagi satu kelas?. 3) Kegiatan labolatorium dilakukan untuk mengajari siswa bekerja dalam kelompok untuk melakukan pengukuran, menganalisis, memprediksi dan membuat kesimpulan. Misalnya siswa diberi tugas untuk mengukur tinggi badan  anggota kelompok dan menyajikannya dalam tabel serta Diagram Cartesius.

(3) Applying
Crawford (2001: 8) mengatakan bahwa “Applying strategy is learning by putting the concepts to use”. Aplikasi atau penerapan ini merupakan aspek yang cukup penting dalam mempelajari matematika. Karena seseorang yang sudah dapat mengaplikasikan suatu konsep matematika berarti ia sudah memahami konsep tersebut secara mendalam.
Contoh penerapan strategi applying dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
Kita ingin mengecat seluruh dinding dan langit-langit sebuah ruangan kelas dengan warna kuning. Ruangan tersebut panjangnya 6 m, lebarnya 5 m, dan tingginya 3 m. Bila satu kaleng dapat mengecat ruangan seluas 8m2. Berapa cat yang diperlukan agar semua dinding dan atap ruangan tersebut dapat dicat?
-->
(4) Cooperating
Crawford (2001: 11) mengatakan bahwa strategi cooperating merupakan pembelajaran dalam konteks yang saling berbagi, merespon dan berkomunikasi dengan sesama temannya. Dalam pembelajaran ini, siswa lebih bebas dan tidak malu untuk bertanya, mereka juga akan merasa lebih leluasa dalam mengutarakan pendapat. Bersama temannya siswa belajar untuk merevisi dan membentuk pemahaman mereka sendiri. Pembelajaran dengan strategi ini akan lebih berhasil  jika siswa memiliki kesempatan untuk mengutarakan idenya di kelas dan mendapatkan umpan balik.

(5) Transferring
Crawford (2001:13) mengatakn bahwa transferring merupakan strategi pengajaran yang digunakan sebagai penggunaan pengetahuan dalam konteks atau situasi baru, dimana seseorang belum pernah melakukannya di dalam kelas.  Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menciptakan pengalaman belajar siswa yang lebih memfokuskan pada pemahaman daripada mengingat. Siswa yang belajar dengan pemahaman juga dapat belajar untuk mentransfer pengetahuan. Pada tahap ini siswa harus menggunakan pengetahuan yang baru diperolehnya dalam menghadapi konteks atau situasi yang baru yang diberikan oleh guru.
3. Kemampuan Koneksi Matematis
      Matematika adalah ilmu yang terdiri dari berbagai topik yang berkaitan satu sama lain. Pada semua topik, jika dipahami ternyata memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu lain bahkan dengan dunia nyata. Ruspiani (2001: 68) menyatakan ”Koneksi matematis adalah kemampuan siswa mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep matematika itu sendiri, maupun mengaitkan matematika dengan bidang lainnya”.
Shadily dan Echols (Barir, 2009) mengartikan connection sebagai hubungan, sambungan, pertalian atau sangkut paut. Sehingga koneksi matematik dapat dipandang sebagai hubungan matematik, hubungan matematik dengan disiplin ilmu lain, maupun hubungan matematik dengan dunia nyata. Ruspiani (2001: 20) mengatakan ”Jika suatu topik diberikan secara tersendiri maka pembelajaran akan kehilangan satu momen yang sangat berharga dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa dalam belajar matematika secara umum”.  Artinya tanpa kemampuan koneksi belajar matematika hanya akan dirasakan sebagai pembelajaran hitungan tanpa dirasakan maksud, tujuan dan keterkaitannya.
                   Indikator kemampuan koneksi matematika meliputi berbagai aspek. Suherman (2008)  mengungkapkan bahwa indikator kemampuan koneksi matematika adalah:
1.      Mencari hubungan.
 Siswa diberikan persoalan yang membuat mereka harus berpikir untuk mencari hubungan antar konsep yang diberikan dengan persoalan yang dihadapi. Mencari hubungkan antara topik matematika, antara matematika dengan disiplin ilmu diluar matematika dan antar matematika dengan kehidupan sehari-hari.

2.      Memahami hubungan,
Siswa dituntut untuk memahami hubungan antara konsep yang telah diberikan dengan persoalan yang dihadapi.  Memahami hubungan antara topik matematika, antara matematika dengan disiplin ilmu diluar matematika dan antar matematika dengan kehidupan sehari-hari.
3.      Menerapkan matematika,
Siswa diarahkan untuk menerapkan matematika yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh guru.
4.      Representasi ekuivalen,
Siswa mampu memahami hubungan antara konsep-konsep yang sejalan, baik antar topik matematika, maupun antara matematika dengan ilmu di luar matematika.
5.      Membuat peta konsep,
Siswa mampu mengungkapkan ide atau gagasan yang telah tersimpan secara terstruktur dalam memori mereka dengan menuangkannya melalui suatu gambar atau tulisan-tulisan yang saling berkaitan satu sama lain.
6.      Keterkaitan berbagai algoritma dan operasi hitung,
Siswa mampu menyelesaikan masalah yang mengharuskan mereka mengerjakannya dalam berbagai algoritma hitung yang berkaitan satu sama lain.
7.      Membuat alasan tiap langkah pengerjaan matematik.
Siswa mampu mengungkapkan alasan dari setiap langkah yang diambil dalam menyelesaikan persoalan yang diberikan.
        Sedangkan Kusuma (2008) memaparkan bahwa dengan melakukan koneksi siswa dapat:
1.      Mengenali representasi ekuivalen konsep yang sama.
Siswa mampu mengenali konsep-konsep yang direpresentasikan secara ekuivalen dalam sebuah persoalan.
2.      Menggali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur  representasi yang lain.
Siswa mampu menggali keterhubungan antara konsep yang ada dalam persoalan yang diberikan sehingga mereka bisa menyelesaikannya dengan berbagai prosedur yang berkaitan.
3.      Menggunakan dan menilai kaitan antar topik dengan disiplin ilmu lain.
Siswa mampu menyelesaikan persoalan dalam disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan matematika dengan membangun keterkaitan  pada topik-topik matematika yang telah diajarkan.
4.      Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari dengan mengaitkannya pada topik-topik dalam matematika dan menyelesaikannya menggunakan aturan matematis.
             Senada dengan Kesuma, berdasarkan kurikulum 2004, Sumarmo (Pujianti, 2007) menyebutkan kompetensi kemampuan koneksi matematika yang harus dimiliki siswa antara lain:
1. Mencari hubungan representasi konsep dan prosedur.
Siswa mampu mencari hubungan antar konsep dan merepresentasikannya   serta menemukan prosedur untuk menyelesaikannya.
2.   Memahami hubungan antar topik matematika.
Siswa mampu memahami keterhubungan antar topik matematika yang diberikan dalam suatu persoalan sehingga mampu menyelesaikannya.
3.   Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari- hari.
Siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan persoalan dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari.
4. Memahami representasi ekuivalensi konsep.
Siswa mampu memahami keterkaitan antara konsep yang direpresentasikan secara ekuivalen dalam sebuah persoalan sehingga mampu menyelesaikannya.
5.   Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen.
Siswa mampu mencari keterhubungan antara satu prosedur ke prosedur lain dalam matematika dalam sebuah konsep yang memiliki penafsiran yang sama.
6.   Menggunakan koneksi antar topik matematika dan antar topik matematika dengan topik lain.
Siswa mampu menggunakan keterhubungan antar topik matematika dan antar topik matematika dengan topik lain untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
      Sedangkan Natural Council of Teachers of Mathematics (NCTM), (2000) mengungkapkan bahwa indikator kemampuan koneksi adalah:
1.      Mengenal dan menggunakan keterhubungan diantara ide-ide matematika.
Siswa mampu mengenali dan selanjutnya menggunakan keterhubungan dalam persoalan yang diberikan dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan.
2.      Memahami bagaimana ide-ide matematika dihubungkan dan dibangun satu sama lain sehingga bertalian secara lengkap.
Siswa mampu memahami ide-ide matematika yang disajikan secara tersirat dan menghubungkannya satu sama lain sehingga bertalian secara lengkap untuk mempermudah menyelesaikan suatu permasalahan.
3.      Mengenal dan menggunakan matematika dalam konteks diluar matematika.
Siswa mampu mengenali masalah-masalah dalam konteks diluar matematika yang bisa diselesaikan secara matematis dan dikaji menggunakan matematika.
Menurut NCTM (Wahyuni, 2008: 11) tujuan koneksi matematika di sekolah adalah ”...to help student broaden their prespective, to view, mathematics as an integrated whole rather than as an isolated set of topics, and to a knowladge it relevance and usefulness both in andout of school.”
      Dari pernyataan ini, ada tiga tujuan diadakannya koneksi matematika dalam pembelajaran matematika di sekolah, yaitu untuk memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri serta mengenal relevansi dan manfaat matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diungkpkan dalam GBPP matematika yaitu  mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari disiplin ilmu lainnya.
      Tiga tujuan yang tercantum di atas dapat diuraikan menjadi:
1.      Memperluas wawasan siswa
     Melalui koneksi matematika, siswa akan didorong untuk mengembangkan pengetahuannya sehingga tidak terfokus dalam satu topik saja. Pada saat satu topik dikaitkan dengan topik yang lain, maka akan muncul berbagai cabang di dalamnya. Selain itu, topik dalam matematika juga dapat dikaitkan dengan disiplan ilmu yang lain dan dapat dikaitkan pula dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, hal ini akan memperluas wawasan pengetahuan siswa.
2.      Memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri.
     Matematika yang kita kenal saat ini, bukanlah sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Matematika merupakan suatu cabang ilmu yang terdapat berbagai konsep yang diajarkan. Bahkan jika melihat dari sejarah, matematika  muncul berawal dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan tersebut membentuk konsep yang berbeda-beda, prosedur penyelesainnya pun berbeda. Karena pengetahuan semakin berkembang maka dari permasalahan itulah  muncul sebuah disiplin ilmu yang dinamakan dengan matematika.
3.      Mengenal relevansi dan manfaat matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah
     Matematika identik dengan angka dan simbol-simbol, namun dibalik semua itu matematika mempunyai manfaat yang sangat banyak. Kaitannya, dengan disiplin ilmu yang lain, matematika menjadi ilmu yang menjembatani  atau dapat dikatakan sebagai pembantu. Namun, hal ini jangan sampai menjadikan konotasi negatif, walaupun sebagai pembantu ilmu yang lain, hal ini tidak membuat posisi matematika rendah, akan tetapi justru di sinilah peran matematika dalam ilmu pengetahuan itu sebagai mother of science atau induk dari ilmu pengetahuan. Selain itu matematika juga merupakan disiplin ilmu yang aplikatif, artinya ada beberapa konsep yang dianjurkan dalam matematika dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Berdasarkan tujuan koneksi matematika dan penjelasan sebelumnya, maka koneksi matematika itu  dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Koneksi matematika internal
      Ruseffendi (Wahyuni, 2004: 12) mengatakan bahwa ”Tidak ada konsep yang tidak terkoneksi dengan konsep lain dalam satu sistem”. Sehingga dalam matematika antara konsep yang satu dengan konsep yang lain terdapat hubungan yang erat.
2.      Koneksi matematika eksternal
      Johanes (Wahyuni, 2008:12) mengemukakan bahwa ”Matematika berperan sebagai ilmu pengetahuan pembantu yang ampuh bagi ilmu pengetahuan yang lain, terutama ilmu pengetahuan eksak”. Namun, bisa untuk ilmu yang lain seperti musik, olahraga, kedokteran, teknik, pengetahuan sosial, politik, sejarah, industri dan pertanian. Ini harus dipahami betul bahwa konteks pembantu disini bukan berarti bahwa posisi matematika itu rendah, namun justru matematika itu sebagai pondasi atau pengetahuan dasar yang harus dimiliki seseorang.
Dari penjelasan beberapa tokoh di atas, jelaslah bahwa kemampuan koneksi matematika sangatlah penting untuk dikuasai. Ini bisa dilihat dari ranah atau ruang lingkup koneksi matematika itu sendiri yang tidak hanya menyangkut masalah yang berkaitan dengan pelajaran matematika saja tetapi juga meliputi bidang studi lain dan juga menyangkut permasalahan dalam konteks keseharian. Poin yang terakhir inilah yang lebih menonjolkan pengaplikasian matematika itu sendiri.
II Metode
A. Subjek dan Populasi
            Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Bandung kelas VIII. Alasan memilih kelas VIII sebagai subjek penelitian karena siswa kelas VIII berdasarkan tahap perkembangan kognitif menurut teori Piaget telah mampu mencapai tahap operasi formal. Jean Piaget (Darhim, 2007: 25) menyatakan bahwa pada tahap ini siswa telah mampu melakukan koneksi matematika dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Sampel penelitian adalah dua kelas VIII yang dipilih secara acak. Satu kelas sebagai kelas eksperimen, dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT), sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran biasa.
B. Instrumen
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah instrumen pembelajaran dan instrumen pengumpul data.
      1. Instrumen pembelajaran
            Instrumen pembelajaran yang digunakan dalam penelitian adalah:
a.    Silabus
Silabus adalah suatu pedoman yang memuat perencanaan pembelajaran yang memuat standar kompetensi, kompetensi dasar, kegiatan pembelajaran,  indikator, bentuk instrumen penilaian, alokasi waktu yang diperlukan dan sumber belajar. Silabus dibuat berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan Silabus dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi koneksi dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) pada kegiatan pembelajaran dan indikator-indikatornya dikuatkan dengan indikator kemampuan koneksi matematis.
b.      Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat menggambarkan prosedur  dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. RPP dikembangkan berdasarkan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT)
c.       Lembar Kerja Kelompok (LKK) yang dibuat berisi permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan siswa melalui diskusi kelompok.  Permasalahan yang diberikan menuntut kompetensi koneksi matematis siswa.
2. Instrumen Pengumpul Data.
Instrumen pengumpul data dalam penelitian ini adalah angket skala sikap, instrumen tes, lembar observasi dan wawancara dengan penjelasan sebagai berikut:
     a. Angket Skala Sikap.
           Walgito (Idaningtias, 2008: 1) menyatakan bahwa ”kuesioner adalah suatu daftar yang berisi pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang/anak yang ingin diselidiki atau responden”. Sedangkan (Ruseffendi, 1998: 574) menyatakan bahwa ”skala sikap adalah skala yang dipergunakan untuk mengukur sikap seseorang atau skala sikap dapat pula diartikan sebagai skala yang berkenaan dengan apa yang seseorang percayai, hayati, dan rasakan”.
                 Angket hanya diberikan kepada kelas eksperimen untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap pembelajaran matematika dengan Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT). Angket dianalisis dengan menggunakan skala likert. Derajat penilaian siswa terhadap pernyataan di bagi ke dalam empat kategori yakni Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
b.      Instrumen Tes berupa soal-soal yang memuat indikator sesuai standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan  yang dikembangkan dengan indikator kompetensi koneksi dan pemahaman matematis. 
c.       Lembar Observasi dibuat untuk mengukur kesesuaian proses pembelajaran dengan silabus dan RPP yang telah dibuat, serta kesesuaian proses pembelajaran dengan komponen-komponen strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) yang harus diterapkan selama proses pembelajaran berlangsung.
d.      Wawancara.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui pendapat siswa tentang pembelajaran matematika dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT)
C. Alat dan Bahan Ajar
Alat dan bahan yang digunakan adalah lembar kerja siswa (LKS) dan media pembelajaran yang diperlukan dalam pembelajaran dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT), untuk alat dan bahan yang lainya sesuai dengan alat dan bahan yang diguakan di kelas kontrol, yaitu alat dan bahan ajar yang biasa digunakan pada kelas-kelas reguler.

D. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Menurut Ruseffendi (2005: 35) Penelitian eksperimen merupakan suatu penelitian yang benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Perlakuan yang kita lakukan terhadap variabel bebas kita lihat hasilnya pada variabel terikat. Dalam hal ini pembelajaran dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT)sebagai variabel bebas dan kemampuan koneksi matematik siswa sebagai variabel terikatnya.
            Dalam penelitian ini akan digunakan dua kelas secara acak, satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.  Kelas eksperimen adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT). Sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan metode ekspositori. Kedua kelas diberikan pretes dan postes. Soal-soal yang diberikan menggambarkan kemampuan koneksi matematik siswa, soal saat postes setara dengan soal yang diberikan pada saat pretes.
            Desain eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol pretes-postes yang melibatkan dua kelompok. Seperti yang digambarkan dalam diagram berikut ini:
      Kelas Eksperimen             : A       0          X         0
      Kelas Kontrol                    : A       0                      0
      Dengan :
      A:  Pengelompokan subjek secara acak
      0:   Adanya pretes/postes
      X: Pembelajaran matematika dengan strategi REACT

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap Persiapan.
               a. Menyusun proposal penelitian
               b. Seminar proposal penelitian
               c. Perbaikan proposal penelitian
               d. Observasi ke sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian
               e. Menetapkan pokok bahasan yang akan digunakan penelitian
               f. Menyusun instrumen
               g. Melakukan validitas argumen pada dosen pembimbing.
               h. Uji coba instrumen.
               i. Analisis hasil ujicoba dan menarik kesimpulannya
               j. Menentukan sampel.
          2. Tahap Pelaksanaan
                  a. Memberikan pretes pada siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
a.       Melaksanakan pembelajaran pada kelas eksperimen dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) dan pada kelas kontrol dengan metode ekspositori.
b.      Melakukan observasi pada kelas eksperimen
c.       Memberikan postes di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
d.      Membagikan angket skala sikap pada siswa di kelas eksperimen.
e.       Melakukan wawancara pada beberapa siswa.
           3. Tahap Akhir
                  a.  Mengumpulkan semua data hasil penelitian.
b.  Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian.
c.  Menarik kesimpulan dan hasil penelitian

F. Analisis Data
Statistik yang dipergunakan adalah rata-rata. Uji rata-rata akan dipergunakan untuk melihat perbedaan prestasi antara siswa yang belajar matematikanya dengan strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) dan siswa yang belajar matematikanya dengan pembelajaran biasa.
G. Jadwal Kegiatan
No
             Waktu
Kegiatan
Bulan, tahun 2011-2012
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
1
Pembuatan Rancangan Penelitian






2
Pembuatan Instrumen






3
Mengurus perizinan






4
Percobaan dan revisi instrument






5
Melaksanakan penelitian






6
Pengumpulan data






7
Pengolahan data






8
Penulisan








DAFTAR PUSTAKA
Barir, R. (2009). Perbandingan Koneksi Matematik Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Creative Problem Solving (CPS) dengan Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Konvensional. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Tidak Diterbitkan.
Beagle, E.G. (1979). Critical Variables in Mathematics Education. Washington D.C.: The Mathematical Association of America and NCTM.
CORD. (1999). Teaching Mathematics Contextually. [Online]. Tersedia: http://www.cord.org/uploadedfiles/Teaching_Math_Contextually.pdf  [ 9 Oktober 2011]
Crawford. L.M. (2001). Teaching Contextually.  [Online]. Tersedia: http://www.cord.org/uploadedfiles/Teaching_Math_Contextually.pdf  [ 9 Oktober 2011]
Darhim.(2007). Workshop Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudental Institude.
Hadi A. M. (2009). Efektivitas Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Kendari. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika UNS. Tidak Diterbitkan.
Herdian. (2010). Kemampuan Pemahaman Matematika. [Online]. Tersedia: http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-pemahaman-matematis/                         [10 Oktober 2011]
Kurniadi, E. (2010). Pengaruh Penerapan Pendekatan Open-ended dalam Pembelajaran Matematika dalam Meningkatkan Kemampuan Berfikir Reflektif Siswa SMA. Proposal Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika  UPI. Tidak Diterbitkan.
Kusuma, D.A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia:http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf. [26 Oktober 2009]
Marthen, T. (2010). Pembelajaran Melalui Pendekatan REACT Meningkatkan Kemampuan Matematis Siswa SMP. [Online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/file/11-Tapilouw_Mi.pdf   [ 9 Oktober 2011]
NCTM. (2000). Principles and Standars for School Mathematics. [Online]. Tersedia: www.nctm.org [10 april 2011]
Pujiati, L. (2007). Kemampuan Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 29 Bandung dalam Koneksi Matematik dengan Menggunakan Metode IMPROVE. Tesis. Jurusan Matematika UPI: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Ruspiani. (2001). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis. Program Pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan.
Sabandar. J. (2007). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model. [Online]. Tersedia:http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/mat-inovatif.pdf [Desember 2010]
Setiawan, A. (2009). Implementasi Pembelajaran Conceptual Understanding Procedure (CUPs) Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Tidak Diterbitkan.
Sharp. (1981), Reducation of Parents and Other Adult. USA:The MacMillan Company & The Free Press.
Situmorang. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematika Dan Kreatifitas Matematika Siswa Smp Melalui Pendekatan Penemuan Terbimbing Menggunakan Media Software Autograph. [Online]. Tersedia: http://modelpencapaiankonsep.blogspot.com/2011/05/meningkatkan-kemampuan-pemahaman.html   [10 Oktober 2011]
Suherman, E. (2008). Diktat Perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (1987) Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan  Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi S3: UPI
Wahyuni, E. (2008). Pengaruh Pembelajaran Metakognitif  Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika  UPI. Tidak diterbitkan.
Zulmaulida, R. (2011). Contextual Teaching and Learning with REACT stategy. [Online]. Tersedia: http://edmymatheducation.blogspot.com/2011/06/contextual-teaching-and-learning-with.html. [ 9 Oktober 2011]