Oleh
Anisa Wijayanti
“Aku
mau jadi mentri pendidikan……….!”
Teriakan
itu masih terngiang jelas di telingaku. Sebuah teriakan akan impian, cita-cita
dan harapan yang terucap dari mulut seorang
mahasiswa baru pada pembukaan Masa Orientasi Mahasiswa (MIMOSA) di
hadapan sekitar 5000 mahasiswa baru di sebuah gymnasium di kampus kami, Universitas
Pendidikan Indonesia. Citra Aulia, seorang gadis tinggi kurus dan berkerudung
lebar memekikkan teriakan itu. Lewat tutur katanya aku bisa melihat bahwa dia
adalah seorang gadis yang cerdas, penuh semangat dan memiliki banyak impian
besar. Itulah kesan yang kudapatkan saat pertama kali mengenalnya dalam sebuah
perkenalan formal saat MIMOSA, meski Citra saat itu belum mengenalku.
Hari
pertama di kelas umum, jurusan Matematika di salah satu ruangan di FPMIPA.
“Saya minta yang
bernama Citra Aulia, maju ke depan.” ujar salah satu kakak tingkat.
“ Ya, saya
kak.” ucap Citra sambil berdiri dan
melangkah ke depan kelas.
“ Sekarang kamu ceritakan
darimana asal kamu, bagaimana kamu bisa sampai ke UPI dan kenapa kamu
bercita-cita ingin menjadi seorang mentri pendidikan!”
“ Emh… Citra
berasal dari Lampung. Citra masuk UPI dengan dengan perjuangan besar
teman-teman. Citra ingin menjadi Mentri Pendidikan, supaya bisa memajukan
pendidikan di Indonesia. Untuk teman-teman Citra disini, mari kita lakukan yang
terbaik selama kita disini, agar perjuangan orang tua kita tak sia-sia,” ucap
Citra dengan terbata-bata teringat akan kedua orang tuanya di kampong halaman
yang sangat mendambakan kesuksesannya. Kalimat itu diucapkannya dari lubuk
hatinya yang paling dalam. Seketika itu pula kelas menjadi hening, semua
mahasiswa merenungkan kata-kata Citra.
Perkuliahan pun dimulai, aku sadar
aku memasuki babak baru kehidupan. Sebuah babak dimana aku akan belajar menjadi
manusia yang lebih baik dari sebelumnya, Hari pertama perkuliahan aku sangat
grogi. Ya Allah, seperti apa sebenarnya
proses pembelajaran di kampus? Bismillah, mudahkanlah Ya Allah, batinku
lirih. Sesampainya di kelas, tepatnya di E-405 aku duduk di bangku paling
belakang. Mataku menangkap Citra duduk
di bangku paling depan. Sepanjang perkuliahan Citra telah menujukkan
kecerdasannya. Aku semakin tahu, Citra adalah anak yang luar biasa. Ada banyak
potensi dalam dirinya dan sungguh diam-diam aku mengagumi semua itu.
Pulang kuliah, aku berpapasan dengan
Citra. Dia mengajakku makan siang bersama di kantin. Citra bercerita tentang
banyak hal. Tentang kehidupannya yang sangat sederhana di Lampung dan perjuangannya
untuk bisa masuk ke UPI lewat jalur beasiswa karena tanpa beasiswa impiannya
untuk kuliah hanya akan menguap begitu saja. Percakapan pertama secara langsung
dengannya membuat kekagumanku akan sosoknya semakin besar. Citra adalah gadis
yang supel, dia mampu membuatku yang minder dan pendiam merasa nyaman
berbincang lama dengannya.
Hari-hari perkuliahan berjalan
seperti biasa, Aku dan Citra semakin dekat dari hari ke hari, meski aku masih
harus banyak belajar untuk semakin mengenalnya. Keceriaan dan semangatnya
perlahan-lahan mengajariku untuk lebih percaya diri di kampus yang masih asing
bagi kami. Suatu hari dalam sebuah acara buka bersama kelas kami, aku kaget
saat melihat ada banyak obat di tas Citra. Diam kutatap Citra dalam-dalam. Dia
hanya tersenyum dan berkata, “Tenanglah, aku tidak apa-apa ini hanya obat-obat
biasa,” Citra berusaha menenagkanku. Meski Citra berusaha menyembunyikannya
dariku, sejak saat itulah aku tahu bahwa Citra bukanlah manusia yang sempurna.
Citra ternyata sering sakit-sakitan dari kecil. Karena desakanku, Citra akhirnya
bercerita bahwa hampir setiap malam dia pingsan dan akhir-akhir ini penyakit
paru-parunya sering kambuh. Mendengar semua itu aku mulai menghawatirkan
keadaannya. Ternyata, dibalik keceriaan dan semangatnya Citra tak sekuat yang
aku kira. Setiap malam aku menanyakan keadaannya melalui telepon. Tapi setiap
kali dia menangkap kekhawatiran dalam diriku dia selalu bilang bahwa dia
baik-baik saja.
Awal perkuliahan paska Lebaran 2008.
Di sebuah koridor gedung FPMIPA, aku
mendengar Citra bercerita bahwa dia masuk UGD saat mudik ke Lampung tapi saat
itu dia menceritakan semuanya dengan ringan, seolah-olah masuk UGD itu hal yang
biasa bagi dia. Ya Allah Citra begitu
kuatnya dirimu, hatiku bergumam. “Kenapa saat itu kamu tak mengabariku?”
tanyaku dengan kesedihan tertahan.“Aku takut kamu khawatir, lihat sekarang aku
baik-baik saja kan?” ungkapnya ringan. Mendengar itu aku merasa sangat kecil.
Aku dengan penyakit yang ringan saja masih sering mengeluh sedangkan Citra, Subhanallah dia begitu sabar.
UTS….oh… UTS….Detik-detik mendebarkan
itu dating. Tak terasa perkuliahan semester pertamaku sudah berada di tengah
perjalanan. Ya Allah ujian pertama di
UPI, bisa enggak ya aku menghadapi semua ini?. Aku mulai stress dan akhirnya
aku jadi sakit-sakitan karenanya. Aku menjalanai hari-hari di masa UTS dengan
bolak-balik ke berbagai klinik, semuanya mengeluarkan diagnosa yang berbeda. Membuatku
bingung saja, akhirnya aku berobat ke rumah sakit tapi ternyata sakitku tak
kunjung hilang. Saat itu aku benar-benar putus asa, bahkan orang tua dan kerabatku
menyuruhku pindah saja ke universitas yang lebih dekat dari rumah. Sempat
terbersit olehku untuk mengakhiri semuanya, meninggalkan UPI dan semua impianku
di sana. Begitu kerdilnya diriku.
Pada saat yang sama Citra juga sakit
tapi ego akan kesembuhan diriku sendiri membuatku lupa untuk memperhatikannya
hingga akhirnya Citra mengabariku bahwa dia masuk rumah sakit. Di rumah sakit
kulihat dia terbaring seorang diri. Kakak tingkat yang memasukkannya ke rumah
sakit sedang kuliah sekarang. Aku menghampirinya dengan perasaan bersalah.
“Cit, apa kamu baik-baik saja? Maafkan aku, aku kurang memperhatikanmu.”
ungkapku dengan penuh sesal.“Aku
baik-baik saja, hanya sedikit bermasalah pada pernapasan.” jawabnya ringan. “Apa sudah kamu coba tes ke laboratorium?”
tanyaku. “Belum, biayanya pasti mahal.” Astagfirullah, aku yang sakit ringan
saja sudah sangat mengeluh sedangkan Citra sakit separah ini dia tanggung
sendiri. Tak ada keluarga yang dia kabari karena Citra tahu kabar sakitnya dia
hanya akan menambah beban keluarga. Citra masih mampu membayar biaya rumah
sakit dengan tabungan hasil mengajar selama ini. Lain sekali dengan aku yang
sakit sedikit saja sudah cukup membuat orang tua repot karena
keluhan-keluhanku.
Rabu sore seperti biasa aku dan
teman-teman ada kuliah olahraga. Kebetulan sore ini Pak Agus tidak bisa datang jadi
dia mewakilkan kepada ketua kelas kami untuk mengawasi kami lari enam kliling
di stadion dalam kampus. Meski hari ini di perkuliahan olahraga dosen kami
tidak datang dan Citra baru beberapa hari keluar dari rumah sakit kulihat Citra
tetap datang dengan kaki yang tertatih
dan bengkak. Tapi Citra tetaplah Citra, dia tetap tersenyum meski kondisinya
seperti itu.
Keesokan harinya, mataku tak
menangkap adanya Citra di mata kuliah Kimia Dasar. Aku bertanya-tanya, kemana
Citra? Dari Hana akhirnya aku tahu bahwa Citra sakit lagi. Selang beberapa hari
setelah perkuliahan olahraga Citra tetap tak terlihat. Padahal aku tahu Citra
biasanya selalu berusaha datang meskipun dia sakit. Sepertinya kali ini Citra
benar-benar tak mampu memaksakan diri. Kucoba menghubungi ponselnya tapi tak
pernah ada jawaban. Kosannya sepi setiap kali aku bertandang kesana. Ibu kosnya
hanya tahu Citra dirawat di rumah sakit tapi entah rumah sakit mana katanya.
Pagi ini ponselku berbunyi, ternyata
sms dari Citra. Akhirnya dia menghubungiku. Pelan kubuka sms darinya dan
ternyata kudapati kata-kata yang menyayat hati. Cit, aku ternyata terkena leukeumia stadium akhir. Aku hari ini dibawa
pulang ke Lampung karena aku ingin dekat dengan keluarga. Ibu menjemputku hari
ini, mungkin aku tak akan kembali lagi. Deg! Rasanya sesuatu yang berat
menimpaku. Leukemia, sebuah penyakit yang mengerikan. Ternyata semua penyakit
yang dia rasakan selama ini karena Leukeumia. Kutelepon Citra dengan kesedihan
tertahan. Berbicara lewat telepon tak sedikitpun kudengar kesedihan terpancar
dari irama suaranya. Dia tetap tegar dan kuat seperti biasanya, seolah tak
terjadi apa-apa.
Perkuliahan berjalan, tanpa Citra
mulai kutapaki hari-hari seperti biasa, kesibukan kuliah yang padat kini tak
membuatku mengeluh lagi. Ketika semua penat dan jenuh karena perkuliahan itu datang,
wajah Citra dan senyum semangatnya seakan menyejukkan. Teringat kata-katanya di
salah satu perbincangan kami di telepon bahwa sesulit apapun perkuliahan dan
kehidupan yang harus dijalani aku harus kuat karena setidaknya Allah masih
memberiku nafas untuk hidup. Semua itu Allah berikan bukan untuk disia-siakan
tapi untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Waktu yang berjalan membuatku
semakin terbiasa tanpa Citra meski nama dan semua tutur katanya masih terngiang
di telinga. Empat bulan setelah dokter menyatakan bahwa Citra terkena Leukemia,
Allah mengambilnya dari kami untuk ditempatkan di tempat yang terbaik. Tempat
yang indah bagi seseorang yang telah menghambakan diri dengan baik dan
mengikhlaskan kehidupannya pada takdir yang Allah gariskan tanpa banyak
berkeluh kesah. Kalimat terakhir yang paling aku ingat menjelang Citra masuk
UGD dan pada akhirnya meninggal adalah dia berharap persahabatan kami adalah
persahabatan yang tulus karena Allah agar kelak di akhirat kami bisa bertemu
dengan wajah yang bercahaya hingga membuat para sahabat iri karenanya. Semoga
harapan dan keinginan itu Engkau kabulkan Ya Rabb, tempatkanlah dia di tempat
terbaik yang senantiasa Engkau jaga dan bantu aku untuk menjaga kado terindah
darinya berupa semangat, kegigihan dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Amin.
BIODATA PENULIS
|
Penulis memiliki nama lengkap Anisa
Wijayanti dengan nama pena Sazkia Oktaria Raihani. Anak kedua dari tiga
bersaudara ini lahir di Ciamis, 1 Oktober 1989 dari pasangan Mamat
Suryawijaya dan Mimin Suminar. Setelah menyelesaikan kuliah pada jurusan
Pendidikan Matematika di UPI Bandung kini penulis kembali tinggal di RT
03/RW 18 Dusun Cipaku Desa Muktisari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis. Alamat email penulis adalah wijayanti.anisa@yahoo.com dan nomor handphonenya 085317938585
|
Dengan moto hidup menikmati perjalanan dalam perjuangan
menapaki tujuan penulis menikmati hari-harinya dengan aktif menulis dan
mengajar di sebuah PAUD rintisan di daerahnya.
|
0 komentar:
Posting Komentar