Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 20 Oktober 2012

Kado dari Citra


 
Oleh Anisa Wijayanti

“Aku mau jadi mentri pendidikan……….!”
Teriakan itu masih terngiang jelas di telingaku. Sebuah teriakan akan impian, cita-cita dan harapan yang terucap dari mulut seorang  mahasiswa baru pada pembukaan Masa Orientasi Mahasiswa (MIMOSA) di hadapan sekitar 5000 mahasiswa baru di sebuah gymnasium di kampus kami, Universitas Pendidikan Indonesia. Citra Aulia, seorang gadis tinggi kurus dan berkerudung lebar memekikkan teriakan itu. Lewat tutur katanya aku bisa melihat bahwa dia adalah seorang gadis yang cerdas, penuh semangat dan memiliki banyak impian besar. Itulah kesan yang kudapatkan saat pertama kali mengenalnya dalam sebuah perkenalan formal saat MIMOSA, meski Citra saat itu belum mengenalku.

Hari pertama di kelas umum, jurusan Matematika di salah satu ruangan di FPMIPA.
“Saya minta yang bernama Citra Aulia, maju ke depan.” ujar salah satu kakak tingkat.
“ Ya, saya kak.”  ucap Citra sambil berdiri dan melangkah ke depan kelas.
“ Sekarang kamu ceritakan darimana asal kamu, bagaimana kamu bisa sampai ke UPI dan kenapa kamu bercita-cita ingin menjadi seorang mentri pendidikan!”
“ Emh… Citra berasal dari Lampung. Citra masuk UPI dengan dengan perjuangan besar teman-teman. Citra ingin menjadi Mentri Pendidikan, supaya bisa memajukan pendidikan di Indonesia. Untuk teman-teman Citra disini, mari kita lakukan yang terbaik selama kita disini, agar perjuangan orang tua kita tak sia-sia,” ucap Citra dengan terbata-bata teringat akan kedua orang tuanya di kampong halaman yang sangat mendambakan kesuksesannya. Kalimat itu diucapkannya dari lubuk hatinya yang paling dalam. Seketika itu pula kelas menjadi hening, semua mahasiswa merenungkan kata-kata Citra.
            Perkuliahan pun dimulai, aku sadar aku memasuki babak baru kehidupan. Sebuah babak dimana aku akan belajar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, Hari pertama perkuliahan aku sangat grogi. Ya Allah, seperti apa sebenarnya proses pembelajaran di kampus? Bismillah, mudahkanlah Ya Allah, batinku lirih. Sesampainya di kelas, tepatnya di E-405 aku duduk di bangku paling belakang.  Mataku menangkap Citra duduk di bangku paling depan. Sepanjang perkuliahan Citra telah menujukkan kecerdasannya. Aku semakin tahu, Citra adalah anak yang luar biasa. Ada banyak potensi dalam dirinya dan sungguh diam-diam aku mengagumi semua itu.
            Pulang kuliah, aku berpapasan dengan Citra. Dia mengajakku makan siang bersama di kantin. Citra bercerita tentang banyak hal. Tentang kehidupannya yang sangat sederhana di Lampung dan perjuangannya untuk bisa masuk ke UPI lewat jalur beasiswa karena tanpa beasiswa impiannya untuk kuliah hanya akan menguap begitu saja. Percakapan pertama secara langsung dengannya membuat kekagumanku akan sosoknya semakin besar. Citra adalah gadis yang supel, dia mampu membuatku yang minder dan pendiam merasa nyaman berbincang lama dengannya.
            Hari-hari perkuliahan berjalan seperti biasa, Aku dan Citra semakin dekat dari hari ke hari, meski aku masih harus banyak belajar untuk semakin mengenalnya. Keceriaan dan semangatnya perlahan-lahan mengajariku untuk lebih percaya diri di kampus yang masih asing bagi kami. Suatu hari dalam sebuah acara buka bersama kelas kami, aku kaget saat melihat ada banyak obat di tas Citra. Diam kutatap Citra dalam-dalam. Dia hanya tersenyum dan berkata, “Tenanglah, aku tidak apa-apa ini hanya obat-obat biasa,” Citra berusaha menenagkanku. Meski Citra berusaha menyembunyikannya dariku, sejak saat itulah aku tahu bahwa Citra bukanlah manusia yang sempurna. Citra ternyata sering sakit-sakitan dari kecil. Karena desakanku, Citra akhirnya bercerita bahwa hampir setiap malam dia pingsan dan akhir-akhir ini penyakit paru-parunya sering kambuh. Mendengar semua itu aku mulai menghawatirkan keadaannya. Ternyata, dibalik keceriaan dan semangatnya Citra tak sekuat yang aku kira. Setiap malam aku menanyakan keadaannya melalui telepon. Tapi setiap kali dia menangkap kekhawatiran dalam diriku dia selalu bilang bahwa dia baik-baik saja.
            Awal perkuliahan paska Lebaran 2008.
            Di sebuah koridor gedung FPMIPA, aku mendengar Citra bercerita bahwa dia masuk UGD saat mudik ke Lampung tapi saat itu dia menceritakan semuanya dengan ringan, seolah-olah masuk UGD itu hal yang biasa bagi dia. Ya Allah Citra begitu kuatnya dirimu, hatiku bergumam. “Kenapa saat itu kamu tak mengabariku?” tanyaku dengan kesedihan tertahan.“Aku takut kamu khawatir, lihat sekarang aku baik-baik saja kan?” ungkapnya ringan. Mendengar itu aku merasa sangat kecil. Aku dengan penyakit yang ringan saja masih sering mengeluh sedangkan Citra, Subhanallah dia begitu sabar.
            UTS….oh… UTS….Detik-detik mendebarkan itu dating. Tak terasa perkuliahan semester pertamaku sudah berada di tengah perjalanan. Ya Allah ujian pertama di UPI, bisa enggak ya aku menghadapi semua ini?. Aku mulai stress dan akhirnya aku jadi sakit-sakitan karenanya. Aku menjalanai hari-hari di masa UTS dengan bolak-balik ke berbagai klinik, semuanya mengeluarkan diagnosa yang berbeda. Membuatku bingung saja, akhirnya aku berobat ke rumah sakit tapi ternyata sakitku tak kunjung hilang. Saat itu aku benar-benar putus asa, bahkan orang tua dan kerabatku menyuruhku pindah saja ke universitas yang lebih dekat dari rumah. Sempat terbersit olehku untuk mengakhiri semuanya, meninggalkan UPI dan semua impianku di sana. Begitu kerdilnya diriku.
            Pada saat yang sama Citra juga sakit tapi ego akan kesembuhan diriku sendiri membuatku lupa untuk memperhatikannya hingga akhirnya Citra mengabariku bahwa dia masuk rumah sakit. Di rumah sakit kulihat dia terbaring seorang diri. Kakak tingkat yang memasukkannya ke rumah sakit sedang kuliah sekarang. Aku menghampirinya dengan perasaan bersalah. “Cit, apa kamu baik-baik saja? Maafkan aku, aku kurang memperhatikanmu.” ungkapku  dengan penuh sesal.“Aku baik-baik saja, hanya sedikit bermasalah pada pernapasan.” jawabnya ringan.  “Apa sudah kamu coba tes ke laboratorium?” tanyaku. “Belum, biayanya pasti mahal.” Astagfirullah, aku yang sakit ringan saja sudah sangat mengeluh sedangkan Citra sakit separah ini dia tanggung sendiri. Tak ada keluarga yang dia kabari karena Citra tahu kabar sakitnya dia hanya akan menambah beban keluarga. Citra masih mampu membayar biaya rumah sakit dengan tabungan hasil mengajar selama ini. Lain sekali dengan aku yang sakit sedikit saja sudah cukup membuat orang tua repot karena keluhan-keluhanku.


            Rabu sore seperti biasa aku dan teman-teman ada kuliah olahraga. Kebetulan sore ini Pak Agus tidak bisa datang jadi dia mewakilkan kepada ketua kelas kami untuk mengawasi kami lari enam kliling di stadion dalam kampus. Meski hari ini di perkuliahan olahraga dosen kami tidak datang dan Citra baru beberapa hari keluar dari rumah sakit kulihat Citra tetap datang  dengan kaki yang tertatih dan bengkak. Tapi Citra tetaplah Citra, dia tetap tersenyum meski kondisinya seperti itu.
            Keesokan harinya, mataku tak menangkap adanya Citra di mata kuliah Kimia Dasar. Aku bertanya-tanya, kemana Citra? Dari Hana akhirnya aku tahu bahwa Citra sakit lagi. Selang beberapa hari setelah perkuliahan olahraga Citra tetap tak terlihat. Padahal aku tahu Citra biasanya selalu berusaha datang meskipun dia sakit. Sepertinya kali ini Citra benar-benar tak mampu memaksakan diri. Kucoba menghubungi ponselnya tapi tak pernah ada jawaban. Kosannya sepi setiap kali aku bertandang kesana. Ibu kosnya hanya tahu Citra dirawat di rumah sakit  tapi entah rumah sakit mana katanya.
            Pagi ini ponselku berbunyi, ternyata sms dari Citra. Akhirnya dia menghubungiku. Pelan kubuka sms darinya dan ternyata kudapati kata-kata yang menyayat hati. Cit, aku ternyata terkena leukeumia stadium akhir. Aku hari ini dibawa pulang ke Lampung karena aku ingin dekat dengan keluarga. Ibu menjemputku hari ini, mungkin aku tak akan kembali lagi. Deg! Rasanya sesuatu yang berat menimpaku. Leukemia, sebuah penyakit yang mengerikan. Ternyata semua penyakit yang dia rasakan selama ini karena Leukeumia. Kutelepon Citra dengan kesedihan tertahan. Berbicara lewat telepon tak sedikitpun kudengar kesedihan terpancar dari irama suaranya. Dia tetap tegar dan kuat seperti biasanya, seolah tak terjadi apa-apa.
            Perkuliahan berjalan, tanpa Citra mulai kutapaki hari-hari seperti biasa, kesibukan kuliah yang padat kini tak membuatku mengeluh lagi. Ketika semua penat dan jenuh karena perkuliahan itu datang, wajah Citra dan senyum semangatnya seakan menyejukkan. Teringat kata-katanya di salah satu perbincangan kami di telepon bahwa sesulit apapun perkuliahan dan kehidupan yang harus dijalani aku harus kuat karena setidaknya Allah masih memberiku nafas untuk hidup. Semua itu Allah berikan bukan untuk disia-siakan tapi untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya.
            Waktu yang berjalan membuatku semakin terbiasa tanpa Citra meski nama dan semua tutur katanya masih terngiang di telinga. Empat bulan setelah dokter menyatakan bahwa Citra terkena Leukemia, Allah mengambilnya dari kami untuk ditempatkan di tempat yang terbaik. Tempat yang indah bagi seseorang yang telah menghambakan diri dengan baik dan mengikhlaskan kehidupannya pada takdir yang Allah gariskan tanpa banyak berkeluh kesah. Kalimat terakhir yang paling aku ingat menjelang Citra masuk UGD dan pada akhirnya meninggal adalah dia berharap persahabatan kami adalah persahabatan yang tulus karena Allah agar kelak di akhirat kami bisa bertemu dengan wajah yang bercahaya hingga membuat para sahabat iri karenanya. Semoga harapan dan keinginan itu Engkau kabulkan Ya Rabb, tempatkanlah dia di tempat terbaik yang senantiasa Engkau jaga dan bantu aku untuk menjaga kado terindah darinya berupa semangat, kegigihan dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Amin.































BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Anisa Wijayanti dengan nama pena Sazkia Oktaria Raihani. Anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir di Ciamis, 1 Oktober 1989 dari pasangan Mamat Suryawijaya dan Mimin Suminar. Setelah menyelesaikan kuliah pada jurusan Pendidikan Matematika di UPI Bandung kini penulis kembali tinggal di RT 03/RW 18 Dusun Cipaku Desa Muktisari Kecamatan  Cipaku Kabupaten Ciamis. Alamat email penulis adalah wijayanti.anisa@yahoo.com dan nomor handphonenya 085317938585
Dengan moto hidup menikmati perjalanan dalam perjuangan menapaki tujuan penulis menikmati hari-harinya dengan aktif menulis dan mengajar di sebuah PAUD rintisan di daerahnya.



           
















                                                                                           




















0 komentar:

Posting Komentar