Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 08 Oktober 2012

Cita-cita, Merenggut Semuanya!

 Oleh: Anisa Wijayanti
Aku kini berada di sebuah tempat yang asing, tak ada seorangpun yang kukenal di sini, aku bekerja sebagai buruh kasar tak karuan, gajiku kadang dibayar tapi kadang ditangguhkan. Kadang aku merasa, hidupku antara sadar dan tidak. Ya, hidupku kini adalah tebusan untuk sebuah idealisme yang dulu kupegang kuat. Aku ingin jujur, tapi ternyata inilah hasil kejujuranku. Sebuah hidup tak berarah sebagai kuli kasar yang tak punya masa depan.
            Aku ingat, enam tahun yang lalu, di bangkun kelas enam SD, aku berdiri lantang di depan kelas, menyatakan kepada semuanya. Aku akan menjadi seorang tentara. Terbayang olehku baju loreng yang akan kutebus dengan pengabdian pada negara. Ya. Aku bercita-cita menjadi seorang tentara.
Apa yang kuucapkan dengan lantang, kini hanyalah  mimpi yang kubenci. Entahlah, ternyata enam tahun yang kupersiapkan sejak masa SMP hingga SMA tak pernah setara dengan uang puluhan juta.  Aku kalah, kalah dengan realita yang ada. Hanya uang yang berkuasa di republik ini, impian, cita-cita dan harapan yang kudambakan selama enam tahun kini pupus hanya karena rupiah yang enggan kubayarkan.
            “ Bu, aku berangkat, aku tahu kita tak punya apa-apa, tapi aku tak bekecil hati bu, aku yakin latihanku selama enam tahun cukup untuk membuatku lolos dan bisa menjadi tentara.”
            “ Ibu percaya padamu,tapi ingat ya nak, jangan kau gunakan cara yang haram demi mimpimu, gapailah mimpimu dengan kejujuran, dan pulanglah dalam kemenangan”
            Itulah penggalan perbincanganku dengan ibu. Di saat-saat menjelang kepergianku untuk menjalani serangkaian tes ketentaraan. Saat itu aku melangkah dengan kaki yang tegap dalam sebuah keyakinan.
            Tahap-demi tahap rangkaian tes kulewati dengan baik, ada tawa dan linangan air mata dalam setiap tahap tes itu, aku bahagia dalam getar yang tak terkira, setiap kali namaku terpampang di papan kelulusan di tiap tes yang kujalani. Aku mengikuti rangkaian tes selama berbulan-bulan dengan sabar karena yakin akan datangnya sebuah kemenangan.
            Inilah hari terakhir dari serangkaian tes ketentaraanku. Hatiku berdebar menunggu detik-detik pengumuman. Lindahku kelu dalam balutan dzikir yang tak pernah berakhir. Mimpiku kini di depan mata. Aku akan segera meraihnya. Aku yakin akan lolos karena dari serangkaian tes itu, hasil teskulah yang terbaik.
            Menjelang pengumuman aku dipanggil ke sebuah ruangan oleh seorang tentara.
 Dia bertanya “ Berapa yang akan kamu bayar untuk sebuah seragam loreng ini? “
Aku menjawab dengan lantang. “ Siap, saya akan membayarnya dengan pengorbanan seluruh jiwa dan raga saya demi tanah air tercinta!”
“ Ha..ha,.. kamu pikir ini zaman penjajahan, hah? Pengorbanan jiwa raga….tak perlu semua itu! Kamu tahu, teman-temanmu yang ada di tes ini membayar baju loreng ini dengan uang puluhan juta, lalu kamu? Cuih…pengorbanan jiwa! Kami tak perlu itu. Segera pikirkan kata-kataku, kelulusanmu ditangguhkan.”
            Aku berjalan dengan langkah gontai, Tuhan… haruskan aku menukar cita-citaku dengan uang? Tak adakah keadilan di negriku ini  Tuhan?Engkau tahu betapa aku telah mengorbankan banyak waktu demi cita-citaku. Tapi kenapa dunia seolah tak menghargai itu? Kenapa hanya dengan uang mereka menilai semuanya?  Tak adakah kelapangan untukku Tuhan? Dalam hitungan detik segera kurubah apa yang terbersit dalam fikiranku Tuhan, aku yakin tak semua orang d negeri ini seperti lelaki itu, dia hanyalah oknum perusak citra tentara yang selama ini kuagungkan. Dia hanya satu dari puluhan ribu tentara yang pasti jujur dan juga takut pada-Mu. Ampunilah laki-laki itu.
            Handphoneku berbunyi, di layar hapeku terlihat kata ayah berkedap-kedip.Emh… pasti ayah ingin segera tahu hasil tesku, kuangkat telepon dengan perasaan malas.
“ Hallo, assalamu’alaikum!”
“ Wa’alaikumsalam yah”
“ Gimana hasil tesmu? Lulus?”
“ Ada sedikit masalah yah, mereka meminta sejumlah uang untuk kelulusanku, aku diminta menyiapkannya secepatnya”
“ Uang? Berapa?”
“ Puluhan  juta yah, mungkin paling sedikit sekitar lima puluh juta.”
“ Baiklah, kamu tenang saja, ayah akan berusaha menyiapkannya. Ayah ingin melihatmu menjadi tentara nak, mewujudkan cita-cita ayah yang dulu tak terlaksana.”
“ Tapi, uang darimana yah? Lagipula, aku tak mau menyuap. Lebih baik aku mengundurkan diri saja yah. Aku takut jika gaji yang kuterima kelak adalah harta haram dan aku memberikan itu sebagai nafkah yang haram untuk anak-istriku”
“ Jangan bercanda nak, tinggalkanlah idealismemu barang sebentar, ini kita lakukan demi impianmu. Ayah akan segera menyiapkan uang itu, pulanglah dulu”
Tut....tut…percakapan berakhir.
            Akupun pulang. Sesampainya dirumah kulihat uang lima puluh juta itu di kamar ayah, dia meminjam uang kepada banyak orang demi impianku. Tapi idealismeku tetap kuat. Aku tak mau melakukan suap. Ini salah.
“ Maaf yah, aku tak bisa menerima uang itu, bagiku menyuap iti terlarang! Aku akan segera mengundurkan diri, maaf jika aku mengecewakan ayah”
            Kuihat raut muka ayah berubah merah, ayah sangat marah.
“ Dasar anak tak tahu terima kasih!, kamu tahu ayah telah menanggalkan harga diri ayah demi terkumpulnya uang ini, semua itu demi kamu!”
“ Tapi aku tak bisa melakukannya ayah, aku tak bisa, maaf”
“ Baiklah jika kau tak mau melakukannya, pergilah dan katakan kau mengundurkan diri, dan setelah itu, jangan pernah kembali! Satu saat kau akan sadar, idealismemu tak akan membuatmu kenyang! Kau akan tahu itu!”
            Pedih hatiku mendengar kata-kata ayah saat itu, kulihat ibu terisak sambil tersenyum, ibu menghampiriku lalu memelukku erat,
” Apa yang kamu lakukan benar nak, ibu bangga. Pergilah untuk mengundurkan diri, tapi kembalilah! jangan dengarkan kata-kata ayahmu, ibu tak mau kehilanganmu”
“ Tidak bu, ayah telah mengusirku, aku akn pergi dari rumah ini bu, jangan mencariku, kelak aku akan membuktikan, aku bisa sukses tanpa suap bu. Aku yakin itu. Ridhoi aku bu, kelak aku pasti kembali.”
 “Berjanjilah untuk kembali nak, ibu menyayangimu”
“Aku janji bu,…”
            Aku pergi dari rumahku, saat itu aku kehilangan semuanya, kehilangan cita-cita,  impian, juga kehilangan keluarga yang aku punya. Ternyata, impiankulah yang justru merenggut semuanya. Cita-cita, hanya menjadi sebuah kenangan pahit dalam hidupku. Gara-gara dia aku kehilangan banyak waktuku, gara-gara dia aku kehilangan ibu, gara-gara dia ayah mengusirku. Dan gara-gara dia pula kini aku berada disini. Di sebuah kota yang tak kukenal sebelumnya. Jakarta. Cita-cita hanya menjadi sebuah dongeng tak berarti untukku. Kini, aku tak mau bercita-cita lagi. Aku bercita-cita menjadi tentara tapi nyatanya  bukan seragam loreng yang kudapatkan, melainkan pahitnya kehilangan. Cita-citakulah yang membuatku seperti ini. Aku benci cita-cita dan impian. Aku benci kehidupan. Aku ingin pulang. Aku ingin ibu.

0 komentar:

Posting Komentar