Social Icons

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 08 Januari 2012

Pulang

 Oleh : Anisa Wijayanti


SAU….R! SA…U….R!
            SA…UR! S..A…U..R!
            Teriakan anak-anak kos sambil menggedor-gedor pintu membuatku terjaga. Aku membuka mata, mulai sadar bahwa pagi ini adalah hari pertama di bulan Ramadhan tahun ini. Huah..! dengan malas aku mulai bangun dan menuju kamar mandi. Wudhu.
            Kembali ke kamar, kugelar sajadah dan kukenakan mukena. Kusyukuri takdir yang Dia gariskan padaku sehingga aku masih bisa terjaga pagi ini. Sujudku dalam Tahajud kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Ada desiran kehilangan yang cukup dalam menyisir hatiku. Sebersit kerinduan yang telah lama kupendam mulai meronta ingin naik ke permukaan hati dan air mataku mengalir begitu saja saat salam kuucapkan. Aku menangis tersedu-sedu. Menyadari kesalahan masa lalu. Mengingat sebuah keputusan yang kuambil demi hidupku dan untuk itu aku menyakiti perasaan kedua orang tuaku. Aku tahu aku salah tapi aku tak mau kembali sebelum aku bisa menyandang gelar sarjanaku untuk membuktikan pada semuanya bahwa aku bisa meraih kesuksesanku sendiri tanpa bantuan mereka.
            Ini adalah tahun kelima aku sahur sendiri, di kota Bandung yang dulu sempat kutakuti. Aku adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Informatika di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. Kedua orang tuaku tinggal di Cigugur, sebuah desa terpencil di Ciamis.
Tak terasa aku kini sudah tinggkat akhir di UIN Sunan Gunung Jati, sebentar lagi aku di wisuda. Ingin sekali aku mengajak kedua orang tuaku kesini, menyaksikan anaknya diwisuda dengan gelar sarjana. Tapi sepertinya aku tak bisa kembali dengan gelar saja. Aku harus benar-benar menemukan kesuksesanku, setelah itu baru aku bisa pulang.
 Pagi ini, tiba-tiba aku teringat kejadian lima tahun yang lalu. Saat aku baru lulus dari sebuah SMA di Ciamis, aku dipaksa untuk segera pulang dari pondoku, Al-Ikhsan. Saat itu emak menelponku. “Ada kabar menggembirakan dan kamu pasti akan senang, segera pulang!”
            Aku kaget tapi aku tetap memenuhi permintaan emak. Setibanya di rumah aku melihat seorang laki-laki beserta keluarganya duduk di kursi depan rumah. Emak  menghampiriku, mengambil tas yang kujinjing dan menyuruhku segera mandi dan berdandan rapi. Lagi-lagi aku menuruti permintaan emak meski aku tak tahu. Apa yang sebenarnya emak mau dariku.
“ Saya ingin segera mengatur tanggal pernikahan dengan Rita, saya kira Rita juga pasti tak akan menolak. Saya tahu dengan jelas. Dia mencintai saya dan pasti mau menikah dengan saya, bukankah begitu Rita?”
“ Tapi kang, saya…”
“ Oh, tentu saja Rita mau.” Emak yang menjawab semuanya. 
 Aku kaget. Aku memang mencintainya, tapi tak seharusnya dia mengambil keputusan sendiri dan mengajakku menikah dengan cara seperti ini. Dia tahu dengan jelas, aku ingin kuliah. Aku mau mengubah nasib keluarga kami. Aku tak mau kehidupan ekonomi kami berubah hanya karena pemberian dari Kang Sahidi. AKU TAK MAU MENIKAH DENGAN DIA SEKARANG. TITIK!
Setelah silaturrahmi dua keluarga itu selesai. Aku berusaha bicara pada emak dan abah tentang keinginanku untuk kuliah. Tentang tabunganku yang kurasa cukup untuk uang masuk dan aku bilang aku akan bekerja untuk biaya kuliah selanjutnya. Emak dan abah hanya kuminta untuk memberi biaya hidup saja. Sama seperti saat aku di Al-       Ikhsan. Tapi saat itu aku sama sekali tak diberi kekuasaan untuk menolak. Penolakanku sama sekali tak didengar oleh siapapun. Mereka mengira, keinginanku untuk kuliah akan kulupakan seiring tanggal pernikahan yang semakin dekat.
Hari-hari menjelang pernikahan semakin dekat. Tapi keinginanku untuk bisa kuliah tak juga hilang dari otaku. Perlahan-lahan aku merasa cintaku pada Kang Sahidi mulai menghilang. Berubah menjadi sebuah kebencian yang besar karena aku merasa dia merebut semua mimpi yang telah lama kurancang. Aku benar-benar marah. Semakin hari aku semakin tak tahan hingga akhirnya dua hari menjelang pernikahan aku melarikan diri dari rumah dan pergi ke Bandung sendirian.
Aku tahu kepergianku dari rumah dengan cara seperti itu akan membuat emak dan abah terluka. Tapi aku merasa tak ada cara lain lagi. Aku tak mungkin menyerahkan diri pada Kang Sahidi. Aku masih punya mimpi dan aku tak akan membiarkan Kang Sahidi merbut semua mipiku. Aku tahu jika aku menikah dengannya, aku tak mungkin bisa kuliah. Dia takut tersaingi, karena dia hanya lulusan SMA.
Sesampainya di Bandung, aku mencari alamat teman lamaku yang telah pindah ke kota ini sejak dia lulus SD. Dengan hanya bermodalkan keberanian dan setengah nekat aku berhasil menemuinya. Untuk sementara waktu Ika mau menmpungku dan mencarikan pekerjaan untukku. Ya, aku bekerja untk menghidupi diriku di sini sambil mengumpulkan tambahan uang untuk menutupi kekurangan biaya kuliah yang telah lama kupersiapkan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan sebegai resepsionis. Aku beruntung, selama setahun bekerja di sana. Gajiku cukup untuk kebutuhanku dan masih bisa kutabung untuk biaya kuliah. Akhirnya di tahun keduaku di Bandung, aku masuk ke Universitas Islam Negeri Bandung di jurusan Teknik Informatika.
Itulah aku lima tahun yang lalu. Keras kepala, tak pernah mau mengalah dan pantang menyerah. Kini, aku mulai menyadari. Tak semestinya aku meninggalkan emak dan abah dengan cara seperti itu. Itu adalah kesalahan terbesar selama hidupku. Aku yang biasanya patuh tiba-tiba tega menyakiti semuanya. Demi satu hal yang disebut mimpi.
Aku terperanjat. Terlalu lama aku menangis dalam balutan mukena, sementara waktu sahur semakin habis. Kurapikan sajadah dan mukenaku. Kutanggalkan semua kenangan masa laluku dan aku memulai santap sahurku. Sendiri dalam sepi.
Hari-hari di Ramadhan kali ini tetap sama, aku tetap kuliah dan masuk kerja. Kerinduanku pagi itu kadang-kadang mengusik hatiku. Tapi tak pernah kuhiraukan dan berusaha kupendam dalam-dalam. Sempat terfikrkan untuk pulang. Tapi egoku mengatakan. Jangan pulang! Belum saatnya sekarang
Bulan Ramadhan sebentar lagi usai. Anak-anak kostan mulai berbenah untuk pulang. Tampak binar kebahagiaan di mata mereka. Kebahagiaan karena bisa berkumpul dengan keluarga. Aku juga ingin merasakan binar itu lagi. Seperti dulu ketika aku masih di Al-Ikhasan. Saat-saat menjelang Hari Raya Idul Fitri selalu kutunggu. Santri-santri pulang dengan wajah yang ceria karena mendapatkan izin libur yang cukup lama. Tapi kini, mungkin aku tak pantas untuk datang ke rumah itu lagi. Aku memang sangat merindukan emak dan abah. Lima tahun meninggalkan mereka adalah waktu yang cukup lama. Terlalu lama. Tapi aku malu. Malu untuk bertemu dengan mereka bahkan mungkin aku sudah lupa jalan pulang menuju rumah itu.
Allahu Akbar…! Allahu Akbar..! Allahu Akbar!
La..ila..ha illallahu Allahu Akbar!
Allahu Akbarwalillahilhamd!
Gema takbir terus menggema malam ini, menyiratkan semua pengakuan manusia akan keagunggan Sang Pencipta. Mengguratkan kebahagiaan atas kemenangan dan kesucian diri yang kembali fitri. Aku berdiri memandangi sekelilingku. Kosong. Tempat kost yang biasanya ramai malam ini sangat sepi. Semua penghuninya tengah berkumpul dengan keluarganya di luar sana. Kecuali aku. Aku tetap disini, merayakan Lebaran kelima aku jauh dari orang tua. Tak terasa air mataku tumpah. Malam ini aku sangat merindukan abah. Aku merasa beliau tak henti-henti memanggil namaku. Aku tahu itu hanya halusinasiku saja. Karena rinduku yang begitu besar pada abah. Hatiku terus bergetar. Aku benar-benar ingin pulang tapi semua rasa itu tetap kutahan dan berusaha kupendam.
Dini hari aku terperanjat. Sepertinya aku tertidur saat merindukan rumah. Aku memimpikan abah. Beliau menyuruhku pulang. Beliau ingin bertemu denganku. Abah, benarkah abah ingin bertemu denganku? Apa abah tak membenciku?. Aku sangat ingin meminta maaf padamu atas semua kesalahanku lima tahun lalu. Tapi aku tak berani menampakkan mukaku. Abah, maafkan aku.
Aku Shalat Idul Fitri sendiri. Dalam setiap langkahku. Aku tetap mendengar panggilan abah. Aku benar-benar gelisah. Aku takut, terjadi hal buruk pada abah. Seusai Shalat Ied. Kubulatkan tekad. Aku harus pulang!
Sepanjang perjalanan aku melihat ada banyak perubahan. Lima tahun memang cukup lama. Terlalu lama aku membangkang dari orangtuaku. Ya Allah, maafkan aku. Saat ini hatiku berdebar cepat. Apa mereka mau menerimaku? Atau abah akan mengusirku. Ya Allah, tolong aku. Pikiran-pikiran buruk terus menghantuiku. Aku benar-benar takut saat ini.
Tiba di kampungku. Orang-orang melihatku. Menatapku seolah orang asing yang datang ke desa ini. Sesampainya di rumah. Aku melihat keluargaku begitu ramai berkumpul. Tapi aku tak melihat rona kebahagiaan di wajah mereka. Mereka murung. Aku masuk ke pekarangan rumah dengan muka tertunduk.
“Assalamu’alaikum!” salam pelan terucap dari mulutku. Sungguh aku benar-benar tak berani mengangkat muka.
“ Subhanallah Rita, akhirnya kamu pulang nak. Emak kangen sekali sama kamu. Emak dan abah udah nyari kamu kemana-mana. Emak minta maaf ya, gak seharusnya emak maksa kamu. Emak sadar emak dan abah yang salah. Kamu sehat nak? Baik-baik saja kan?” Emak memelukku erat sambil berurai air mata. Keluarga besarku menatap ke arah kami. Saat itu aku merasa malu sekali. Malu atas kelakuanku lima tahun yang lalu.
“ Emak, Rita yang salah. Rita enggak nurut sama emak dan abah. Rita udah bikin emak sama abah malu di kampung ini. Malu pada keluarga Kang Sahidi. Maafin Rita mak. Maafin Rita.” Aku tak kuasa menahan tangis untuk pertemuan kali ini.
“ Syukurlah kamu pulang nak, abah sakit. Dia pengen banget ketemu sama kamu. Mau minta maaf katanya”
“ Abah sakit mak? Sakit apa? Bawa Rita ketemu abah mak.”
“Ayo.”
Aku masuk ke kamar emak dan abah. Mataku melihat abah terkulai lemas disana. Terlentang di sebuah ranjang yang sudah lapuk. Beliau sangat kurus. Tulang-tulangnya jelas terlihat. Aku berlari menghampiri abah sambil menangis meminta maaf.
“ Abah, maafin Rita. Rita udah bikin abah sakit. Rita durhaka bah. Rita ngelawan sama abah. Maafin Rita bah, maafin Rita”
Abah tersenyum.
“ Rita, abah udah maafin kamu. Kamu nggak salah nak. Tak seharusnya abah maksa kamu buat nikah sama Sahidi. Abah yang salah, maafin abah. Abah sudah membuat kamu terlunta-lunta diluar sana selama bertahun-tahun. Maafin abah. Abah nunggu kamu pulang Rita. Abah kangen banget sama kamu. Abah senang kamu pulang dan abah bisa melihat kamu baik-baik saja. Abah bisa tenang sekarang.”
“ Abah…! Abah!. Abah kenapa? Abah jangan tinggalin Rita bah, jangan tinggalin Rita, Rita masih kangen sama abah. Abah!”
Tangan yang kugenggam terkulai lemas. Tak ada lagi denyut nadi yang berdetak. Abah meninggal
Sore hari yang diwarnai gerimis. Aku mengantar kepergian abah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tak kusangka, abah meninggal di Lebaran kali ini. Aku masih beruntung Aku masih diberi waktu untuk menemui abah sebelum ajal menjemputnya. Masih sempat kudapatkan maaf dari abah. Pulang. Satu kata yang lima tahun kudambakan. Akhirnya kini bisa aku lakukan. Selamat jalan abah, beristirahatlah! Aku sudah terlalu sering membebanimu. Maaf darimu sangat berarti untukku.

0 komentar:

Posting Komentar