Mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Pendidikan Matematika, terutama di UPI dihadapkan dengan kenyataan yang mengharuskan mengontrak mata kuliah seminar pendidikan matematika yang merupakan fase simulasi sebelum mengontrak skripsi. Detik-detik menjelang seminar pendidikan matematika biasanya menjadi detik-detik yang menegangkan sekaligus mendebarkan, untuk menyiasati perasaan-perasaan negatif yang bisa mengacaukan fokus pikiran menjelang seminar yang penting, berikut tips n trik dari saya:
Rabu, 18 Januari 2012
Jumat, 13 Januari 2012
Hitam Putih Guruku
-->Kutulis puisi ini
Hanya Untukmu….Guruku.
Guruku, kudengar orang-orang mulai membicarakanmu
Mencela, mengejek bahkan tak sedikit yang menghujatmu!
Jara…..ng rasanya kudengar orang memujimu.
Dari itu aku mulai mengerti,
Menjadi dirimu itu tak mudah
Boleh saja,…..mereka menghujatmu
Tapi…..kupikir…..
Bahkan mereka mungkin,lebih buruk dari dirimu
Tidakkah mereka berpikir?
Mereka bisa baca tulis saat ini, karenamu.
Memang mereka hanya bisa mencelamu,mencelamu….
Dan melihat kekuranganmu.
Tanpa pernah berterimakasih atas semua jasa-jasamu
Tapi….jangan engkau risau guruku….
Aku tahu, kau tak butuh ucapan terima kasih atas segala jasa-jasamu
Anisa Wijayanti
Puisi pas masih di sanggar seni kasamsa,…
Terima kasih rekan-rekan di Kasamsa yang mengajari banyak hal,…
Tiga
Nada yang gusar membuatku sadar, hari yang kita lalui tak bertepi, kata yang mengalun layaknya embun membuatku tertegun. Sejuta makna dibalik satu kata. Sejuta cerita dibalik kotak kaca yang selama ini terjaga.
Kamis, 12 Januari 2012
BENING CINTA YANG SESUNGGUHNYA
Pagi
ini seperti biasa Ezi dan geng’nya yang aneh itu terus menggangguku. Entah apa
maksud Ezi melakukan semua ini terhadapku. Sejak ia mengatakan bahwa ia
menyukaiku Senin lalu dihadapan teman-teman sekelasku, ia mulai menghujani
hari-hariku dengan berbagai hal yang membuatku terbang melayang dan terbuai.
Atmosfer di sekolahku tiba-tiba berubah menjadi tidak nyaman. Aku tak suka
dengan keadaan seperti ini. Kembalikan hari-hariku yang dulu Ezi!
Namaku
Rani Wulandari. Aku kini baru kelas XI
di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Aku gadis biasa, mungkin hanya sedikit
orang yang mengenalku di sekolah karena aku cukup pendiam dan tak suka dengan
keramaian atau kumpul dengan teman-teman. Tempat favoritku adalah perpustakaan.
Dimata teman-teman mungkin aku cupu, tapi terserahlah yang penting aku nyaman dengan
diriku.
Ezi
adalah sosok yang sangat menyebalkan bagiku. Narsis, sok kecakepan, gombaler
dan sederet predikat buruk dia terekam dengan jelas di otakku. Hm… sebenarnya,
dia lumayan. Mungkin karena itulah banyak gadis di sekolahku antre untuk bias
jadi ceweknya. Tapi bagiku. Ezi tetap tak istimewa. Dia menyebalkan dan sama
sekali tak menarik bagiku!
Beberapa
minggu terakhir ini Ezi mendekatiku dengan berbagai cara, kata cinta darinya
kutemukan pada bunga, cokelat, buku, dan berbagai hal lain yang selalu
kutemukan di mejaku setiap pagi. Kata cinta darinya tertulis rapi, dalam kartu
ucapan yang manis setiap pagi. Tapi anehnya, kata cinta yang seringkali datang
darinya membuatku berfikir bahwa cinta bagi Ezi adalah sesuatu yang sangat
mudah dikatakan dan mudah didapatkan. Mungkin dia fikir aku sama dengan
gadis-gadis lain disekolahku yang bisa dengan mudah dia dapatkan. Tapi satu hal
yang bias kukatakan. Ezi salah besar jika berfikir seperti itu. Aku tak semudah
itu dia dapatkan!
Aku gadis yang berbeda dari yang lainnya. Bagiku
cinta adalah sesuatu yang suci dan tak kan dengan mudah kukatakan pada
sembarang orang. Aku baru akan mengatakannya pada cowok yang benar-benar tepat.
Tidak seperti Ezi yang terbiasa mengumbar kata cinta pada semua gadis yang
menarik hatinya. Perbedaan itulah yang membuatku enggan untuk berlama-lama
didekatnya. Aku benci Ezi!
Entah
kenapa Ezi tak pernah berhenti menggangguku. Kekasaran sikapku padanya sama
sekali tak membuatnya berhenti mendekatiku. Semakin aku kasar padanya, semakin
gencar dia mendekatiku. Huh! Lama-lama aku capek juga menghadapinya. Tapi
biarlah… aku berjanji tak akan luluh hanya karena sosok seorang Ezi.
Pagi
ini, tiba-tiba Ezi menghilang. Bunga dan puisi cinta yang biasa dia tulis
untukku setiap pagi kini tak ada. Senyumannya yang menggoda saat aku akan
memasuki gerbang sekolahku kini tak lagi kutemukan. Ada sebersit rasa penasaran
di benakku. Kemana Ezi? Apa dia sakit? Ah… apa peduliku. Bukankah ini yang aku
mau. Hidup tenang tanpa gangguan Ezi dalam hari-hariku. Meskipun di sudut
hatiku aku bertanya-tanya. Kutepis semuanya dan aku berusaha untuk yak peduli
akan kehadirannya. Mungkin Ezi mulai bosan mengejarku. Itulah yang terlintas
dalam benakku.
Sudah
seminggu Ezi tak tampak di hadapanku. Aku ingin mencari tahu. Tapi rasa malu,
menutup semua inginku. Aku tak berani menanyakan keberadaan Ezi pada siapapun.
Yang kulakukan setiap hari hanya berjalan melintasi kelasnya. Berharap
kutemukan senyuman Ezi di bangku tempat ia duduk seperti biasa.
Tuhan,
kenapa aku jadi berubah memikirkannya? Bukankah selama ini aku tak pernah
peduli padanya? Bukankah aku sangat membencinya? Bukankah selama ini aku selalu
berharap Ezi pergi dari hidupku? Tapi kenapa saat dia benar-benar menghilang
dari hidupku aku malah kangen sama dia?Ah…kangen, benarkah aku kangen sama Ezi?
Tolong aku Tuhan…bantu aku menemukan Ezi.
Jum’at
pagi, akhirnya kutemukan sosok Ezi di sekolah. Ia tetap sama, malah makin keren
dan cuakep bangeets. Ya, kini kuakui, Ezi memang punya banyak hal yang bisa
membuat semua gadis bertekuk lutut padanya. Termasuk aku. Kini kuakui aku
mengharapkan kehadirannya dalam hari-hariku seperti dulu. Jika Ezi mengirim
bunga dan puisi-puisi lagi, aku berjanji tak akan berbuat kasar padanya. Aku
akan menyambutnya dengan senyuman. Senyum sebagai tanda penyambutan.
Ternyata
apa yang kuharapkan kini hanya tinggal impian, bunga dan puisi itu tak pernah
ada lagi untukku. Mungkin Ezi telah lelah dengan semua sikap kasarku. Lelah
disaat aku telah luluh, lelah disaat aku sangat mengharapkan kehadirannya.
Andai waktu bisa kuulang lagi. Akan kutanggalkan semua ego dan kesombonganku
dank an kuterima Ezi dengan penuh suka cita. Tapi kini, semua itu tinggalah
mimpi yang tak pernah bisa nyata.
Lambat
laun aku mulai berani mendekatinya, situasi kini berbalik. Kini, aku yang
mengejar Ezi. Tuhan, apa ini hukuman untukku karena telah menyia-nyiakannya?
Keinginan untuk mengetahui kepribadian Ezi kini berakar kuat di hatiku. Ada
sebersit rasa sepi jika sehari saja aku tak melihat sosoknya dengan kedua
mataku. Aku memang menyesal telah menyia-nyiakannya dulu. Tapi aku bersyukur.
Aku bahagia karena Tuhan telah mengenalkanku pada Ezi.
Waktu
terus bergulir, seiring makin kuatnya hatiku menyebut nama Ezi. Beberapa kali
aku mendapati Ezi memandangi diriku dengan lembut, tapi kini dia tak pernah
berani menatapku secara langsung. Ada apa dengan Ezi? Kenapa dia tiba-tiba
berubah pemalu? Kemana kepercayaan diri yang selama ini melekat kuat dalam
dirinya? Ini aneh.
Di sebuah bus dalam perjalanan menuju sekolah.
Hapeku bergetar, sebuah pesan singkat terlihat di layar.
Ran,
ni Ezi, ak dah lama merhatiin km.
Ak
thu km dah nolak ak berkali2,
Skrg,
ak mu kt bertmn, km mau?
Deg…
jantungku serasa terhenti. Ezi? Akhirnya, aku mendapat jalan untuk bisa
mengenalnya, sebagai teman. Tentu saja aku mau. Bahkan lebih dari itupun
sekarang aku mau. Segera kubalas sms Ezi dengan hati girang tak karuan.
Ak
mu jd tmn km zi.
Cuma
itu yang kukirimkan, sesaat setelah itu datanglah balasan
Thanks
y ran. Ak mu kt ktmu siang ni d kntin. Dtg y.
Wa..h,
secepat itu Ezi mnemintaku bertemu dengannya. Ezi, pasti aku akan dating buat
kamu. Gumamku dalam hati.
Pertemuan
dengan Ezi, menjadi awal komunikasi yang baik di antara kami, anehnya semua sms
yang ia kirim tersusun sangat baik dan sopan. Jauh dari pribadi Ezi yang
kufikirkan sebelumnya. Urakan.
Setiap
hari kulewati dengan riang. Meski dia tak pernah mengatakan lagi bahwa dia
menyukaiku. Aku cukup senang karena setidaknya Ezi masih peduli padaku. Aku
menyadari bahwa posisiku sebagai temannya lebih baik bagi kami. Setiap hari
perhatian Ezi kurasa sudah lebih dari cukup untukku.
Hingga
hari itu dating, Ezi tiba-tiba menghilang. Dia hanya mengirim pesan singkat
yang mengatakan bahwa dia akan pergi untuk waktu yang lama, liburan ke tempat
yang menyenangkan katanya. Aneh, bukankah ini belum masa liburan, ah.. tapi Ezi
tetap Ezi yang selalu menjadi teka-teki. Beberapa kali kutelepon, tapi tak
pernah ada jawaban.kudatangi rumahnya. Sepi, tak ada siapapun disana.
Seperginya
Ezi aku mulai menata hidupku lagi,aku baru sadar bahwa selama ini aku terlalu
bergantung pada Ezi, “ Mungkinkah Ezi pergi karena lelah mendengar semua
keluhanku? Atau dia ingin melihatku kuat tanpa dia? Atau telah terjadi hal
buruk menimpanya? Liburan? Benarkah?” aku mulai mengkhawatirkan Ezi.
Pertanyaan-pertanyaan
itu bertumpuk di otaku, saat kutanyakan keberadaannya pada teman-temannya yang
lain. Tak ada yang tahu. Aku terus mencari Ezi, pertanyaan-pertanyaan itu mulai
menagih jawaban. Meski akhirnya, aku pasrah dan aku tahu tak akan pernah ada
jawaban dari Ezi karena ia bagaikan lenyap di telan bumi.
Ezi
pergi. Dia tak akan pernah kembali, karena kini ia dan aku berada di alam yang
berbeda, ini kutahu dari sepucuk surat yang dia tulis sebelum meninggalkan
dunia ini.
Rani, aku tahu bahwa
kepergianku akan membuatmu sedih,
Tapi aku mengenalmu,
kau bukanlah gadis yang mudah menitikan air mata,
Kau begitu kuat!
Aku ingat, bagaimana
keras kepalanya kamu saat kamu menolakku tiap hari,
Itulah yang membuatku
semakin tertarik padamu,
Hingga satu hari, aku
tahu aku sakit Rani,
Tapi kekagumanku padamu
tak pernah hilang,
Cinta,
Aku mencintaimu Rani,
Tapi sakitku membuatku
sadar untuk tak mengejarmu lagi,
Aku takut kamu kecewa,
karena akhirnya kamu akan kehilangan aku.
Janganlah kamu tangisi
kepergianku……..
Pastinya kau tahu
bukan? tak kan
pernah ada yang abadi di dunia……
Maka tegarlah, tata
kembali hidupmu
Aku yakin kamu pasti
bisa melakukan semuanya tanpa aku .
Rani, mungkin kamu
memandang remeh semua perkataanku,
Aku tahu selama ini kau
sangat membenciku.
Aku minta maaf.
Aku juga minta maaf
karena telah hadir dihidupmu dan kini pergi begitu saja,
Tapi kamu harus tahu
satu hal,
Mengenalmu, adalah
bagian yang paling menyenangkan dalam hidupku.
Terima kasih telah mau
menemaniku di detik-detik terakhir dari hidupku.
Yang Mencinatimu,
Ezi
Ezi,
ternyata selama ini kamu juga mencintaiku. Cinta, itulah yang membuatku mau
menemanimu Ezi. Sayang, aku tak pernah punya waktu untuk mengatakan padamu
bahwa aku juga sangat mencintaimu Ezi. Tenanglah disana, aku bahagia dengan
cinta yang sempat kauberikan untukku. Aku berjanji. Aku akan selalu kuat
untukmu.
(Tulisan jaman dulu,hoho)
Tepian Rindu.
Selaksa rindu kutepis,
Sejuta rasa kulumatkan,
Segunung cemas aku lepaskan,
Datar tak berakar,
Tegar tanpa gusar,
Karena udara tak bisa kuhirup,
Karena air enggan untuk kuteguk,
Karena jiwa enggan untuk menunduk,
Dalam hati yang tak pernah berhenti merajuk
Menunggu
Menembus awan,
Melintasi barisan bintang,
Adakah aku telah berpadu?
Dalam impian yang tertahan di kegelapan.
Kunafikan, tapi sulit kutahan
Adakah laguku kan mengalun merdu?
Dalam ikatan yang berbuku tanpa sendu
Impianku
Berlarilah untuk dirimu,
Jiwaku menunggu,
Tak harus termangu
Karna pasti kan kau ambil kembali.
Semua yang sempat terhenti.
Langganan:
Postingan (Atom)