Oleh: Anisa Wijayanti
A. Kesulitan Belajar Matematika
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia. Lerner (Alyandu, 2011) menyatakan bahwa istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Mardiyanti (Ehan, 2007) menganggap kesulitan belajar sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut mungkin disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan, mungkin bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam proses belajarnya. Beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan ini dipaparkan oleh Nikita (2006), di antaranya:
1. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.
2. Bermasalah dalam hal mengurut informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail.
3. Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.
Anak yang mengalami diskalkulia memiliki cirri-ciri khusus yang akan tampak dalam kesehariannya, adapun cirri-cirinya adalah sebagai berikut (Nakita, 2006):
1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.
2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang.
3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang.
6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.
7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit memahami notasi, urutan nada, dan sebagainya.
8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.
Sementara menurut Lerner yang dikutip Mulyono Abdurrahman (1999: 259), ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu: (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perserverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbul, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Adanya gangguan dalam hubungan keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggarakannya suatu situasi dan kondusif bagi terjalinnya komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan yang mengakibatkan anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.
2) Abnormalitas persepsi visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok. Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat garis yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.
3) Asosiasi visual-motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat mengitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya “satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan ”tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.
4) Perverasi
“Anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perverasi”, Mulyono (Abdurrahman, 1999: 261). Anak demikian mungkin mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu.
contohnya:
4 + 3 = 7
4 + 4 = 8
5 + 4 = 8
3 + 6 = 8
5) Kesulitan mengenal dan memahami simbol
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol atematika seperti +, -, =, >, <, dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan memori tetapi juga dapat disebabkangangguan memori tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.
6) Gangguan penghayatan tubuh
Anak sulit memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagianya.
7) Kesulitan dalam bahasa dan membaca
Kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.
8) Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ.
Hasil tes inteligensi dengan menggunakan WISC (Weshler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Sub tes verbal mencakup: Informasi, persamaan, aritmetika, perbendaharaan kata, dan pemahaman. Sub tes kinerja mencakup: melengkapi gambar, menyusun gambar, menyusun balok, dan menyusun obyek.
B. Kekeliruan Umum Yang Dilakukan Oleh Anak Berkesulitan Belajar Matematika
Agar dapat membantu anak berkesulitan belajar matematika, guru perlu memahami berbagai kesalahan umum yang dilakukan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. Menurut Lerner (1981: 367), kekurangan itu meliputi pemahaman tentang: simbol, nilai tempat, perhitungan, penggunaan proses yang keliru, dan tulisan yang tidak terbaca.
a) Kekurangan Pemahaman Tentang Simbol
Anak-anak belum memahami simbol-simbol dasar perhitungan seperti simbol jumlah (+), kurang (-), dan sama dengan (=). Anak-anak pada umumnya tidak terlalu sulit jika dihadapkan pada soal-soal 4+3 = ....., 8 - 6 = ....., tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal seperti 4 + ....= 7, 8 = .....+ 5, atau 8 - .....= 3. Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol-simbol seperti (=), (+), (-), dsb. Agar anak dapat menyelesaikan soal-soal itu, mereka harus lebih dahulu memahami simbol-simbol tersebut.
a) Nilai Tempat
Ketidak pahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak seperti berikut ini:
75 68
27 - 13 +
58 71
Anak tidak memahami nilai tempat bilangan 7 pada bilangan 75, sehingga anak menghitung:
15 – 7 = 8 dan 7 – 2 = 5 (bilangan 7 harusnya berubah jadi 6), jadi hasilnya 58. jawaban yang benar seharusnya 48.
Pada soal 68 + 13, anak tidak menjumlahkan bilangan 1 puluhan sebagai hasil dari 8 + 3 = 11. Seharusnya 1 puluhan dijumlahkan dengan 6 + 1 (1+ 6 + 1 = 8). Sehingga jumlah yang benar adalah 81.
Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan bersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup.
b) Penggunaan Proses yang Keliru
Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:
- Mempertukarkan simbol-simbol
6
2 x
8
Anak belum memahami simbol X (perkalian). Sehingga simbol X dianggap penjumlahan menjadi 6 + 2 = 8. Seharusnya 6 x 2 = 12.
15
3 –
18
Anak menganggap simbol pengurangan “–“ sebagai penjumlahan, sehingga 15 – 3 = 18, seharusnya 15 – 3 = 12.
2. Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai tempat
83
67 +
1410
Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung 3 + 7 = 10 kemudian 8 + 6 = 14, hasilnya 1410. Jawaban yang benar seharusnya adalah 150.
66
29 +
815
Anak menghitung, 6 + 9 = 15, kemudian 6 + 2 = 8, hasilnya 815. jawaban yang benar seharusnya adalah 95.
- Semua digit diambahkan bersama (algoritma yang keliru dan tidak memperhatikan nilai tempat).
67 58
13 + 12 +
17 16
Anak menghitung: 6 + 7 + 3 + 1 = 17
5 + 8 + 1 + 2 = 16
- Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan nilai tempat
476
851 +
148
Anak menghitung: menjumlahkan dari kiri ke kanan (4 + 7 + 6 + 1) = 18 kemudian 1 ditambahkan berhenti sampai disitu. Lalu diteruskan 1 + 5 + 8 = 14, seharusnya 1358
37
753
693 +
1113
Anak menghitung: menjumlahkan (7 + 5 + 3 + 6) seharusnya 21, tapi anak menulis 11 dan 1 ditambahkan dengan 9 + 3 = (1 + 9 + 3) = 13, anak menulis 1113, seharusnya 83.
- Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan
68
8 +
166
Anak menghitung: 8 + 8 = 16, kemudian anak menulis 6 simpan 10. Lalu 10 + 6 = 16. Anak menulis hasilnya 166. jawaban yang benar adalah 76.
73
9 +
172
Kekeliruan yang terjadi adalah anak menhitung: 3 + 9 = 12, kemudian anak menulis 2 simpan 10. Lalu 10 + 7 = 17. Anak menulis hasilnya 172. Jawaban yang benar adalah 82.
- Bilangan yang besar dikurangi bilangan yang kecil tanpa memperhatikan nilai tempat
627
486 -
261
Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung: 7 – 6 = 1, 8 – 2 = 6, 6 – 4 = 2. Sehingga anak menuliskan hasilnya 261. Jawaban yang benar adalah 141.
761
489 –
328
Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung: 9 – 1 = 8, 8 – 6 = 2, 7 – 4 = 3. Sehingga anak menuliskan hasilnya 328. jawaban yang benar adalah 272.
- Bilangan yang telah dipinjam nilainya tetap
532
147 -
495
Kekeliruan yang terjadi adalah bilangan 3 dan 5 pada bilangan 532 tidak berubah/tetap padahal sudah dipinjam. Sehingga anak menuliskan hasilnya 495. Jawaban yang benar adalah 385
423
366 –
167
Anak merubah bilangan 2 dan 4 pada bilangan 423, padahal bilangan tersebut sudah dipinjam. Sehingga anak menuliskan hasilnya 167. Jawaban yang benar adalah 57.
c) Jawaban Serampangan
Ada anak yang belum mengenal perkalian dengan baik tetapi menghapal perkalian tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan jika hapalannya salah, sehingga jawabannya serampangan. Kesalahan tersebut umumnya tampak sebagai berikut:
6 8
8 x 7 x
46 54
C. Penanganan pada Anak Kesulitan Belajar Matematika
Contoh forma asesmen:
Nama :
TTL :
Kelas :
Tgl. Asesmen :
No
|
Kemampuan
|
Keterangan
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Gangguan hubungan keruangan
Abnormalitas persepsi visual
Asosiasi visual-motor
Perseverasi
Kesulitan mengenal dan memahami symbol
Gangguan penghayatan tubuh
Kekeliruan dalam proses perhitungan
|
Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan konservasi Piaget (Abdurrahman, 1996)
- Klasifikasi
Piaget mengatakan bahwa klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan pengkategorisasian (categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya. Copeland (Abdurrahman, 1996) mengatakan bahwa banyak anak-anak yang menguasai keterampilan pengklasifikasian pada usia 5-7 tahun.
Klasifikasi dapat mencakup: (a) mengelompokan berdasarkan warna, yaitu mengelompokkan dua warna, mengelompokkan tiga warna dan mengelompokkan empat warna; (b) mengelompokan berdasarkan bentuk yaitu mengelompokkan bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk segiempat dan bentuk segipanjang; (c) mengelompokan berdasarkan ukuran, yaitu mengelompokan objek ukuran kecil, obyek yang sedang dan obyek yang besar.
2. Ordering (Mengurutkan) dan Seriasi
Ordering (mengurutkan) adalah kemampuan mengurutkan obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Misalnya, (a) anak mengurutkan pola X – O – X – O – X – …. (b) mengurutkan obyek berdasarkan pola warna, misalnya mengurutkan 3 pola warna dan mengurutkan 4 pola warna, (c) mengurutkan obyek berdasarkan pola bentuk, contohnya mengurutkan 3 pola bentuk dan mengurutkan pola 4 bentuk.
Sedangkan seriasi adalah menyusun obyek berdasarkan ukurannya mulai dari yang terpendek sampai yang paling panjang atau dari yang terkecil sampai yang terbesar.
Ordering dan seriasi menjadi aspek pra berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam aritmatika/berhitung yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut. Buktinya, yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3 dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1 sampai 10, 11 sampai 20 dan seterusnya.
3. Korespondensi
Korespondensi adalah keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut.
Contoh pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu berbeda (10 biji kancing kecil dalam satu gelas dengan 10 biji kancing besar dalam gelas yang lain); (b) menilai jumlah dua obyek yang berbeda (2 pencil dengan 2 pulpen ); (c) menghubungkan antara isi/nilai dengan lambang bilangan (gambar satu telur dihubungkan dengan lambang bilangan 1, gambar 5 buah apel dihubungkan dengan lambang bilangan 5.
Keterkaitan aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga anak mampu menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang bilangan itu ditulis besar-besar tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1 artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam korespondensi ini pun anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan isi/nilainya.
4. Konservasi
Konservasi adalah banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah.
Konservasi mencakup; (a) konservasi jumlah yaitu konservasi jumlah dalam 5 obyek, konservasi jumlah dalam obyek dan konservasi jumlah dalam 9 obyek; (b) konservasi berat, yaitu konservasi berat (bulat dan pipih) dan konservasi berat (opal dan spiral); (c) konservasi isi, yaitu konservasi isi tentang air (posisi vertical) dan konservasi isi tentang air pada dua tempat yang berbeda; (d) konservasi luas yaitu obyek sama, posisi berbeda dan obyek sama, bentuk berbeda.
5. Maju dari kongkrit ke Abstrak
Pengajaran pada tahap kongkrit adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi obyek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran (alat peraga). Sebagai contoh, dalam menjelaskan konsep bilangan. Proses belajar dimulai dari memanipulasi obyek seperti balok-balok, kelereng, gelas, cangkir dan sebagainya. Anak diperkenalkan dengan benda-benda itu, lalu didemonstrasikan, misalnya, jumlah obyek yang banyak dengan yang sedikit, balok yan jumlahnya satu dengan balok yang jumlahnya dua dan seterusnya. Kegiatan pada tahap ini belum diperkenalkan dengan simbol-simbol angka.
Pengajaran pada tahap semi kongkrit adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan media gambar dari benda kongkrit. Misalnya gambar apel, telur, gelas, kelereng, dan sebagainya.
Semi abstrak adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan media gambar yang obyek tidak mewakili benda kongkrit, misalnya jumlah lingkaran yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Menghitung jumlah gambar segitiga, sgi empat, lingkaran, dan lain-lain.
Tahap abstrak adalah pengajaran yang langsung menggunakan simbol-simbol angka (lambang bilangan) seperti angka 1, 2, 3, dan seterusnya.
Selain penanganan yang telah dipaparkan, hal lain yang bisa dilakukan untuk membantu menangani anak yang mengalami diskalkulia adalah sebagai berikut:
- Guru dan orang tua harus menyadari taraf perkembangan anak
- Pendekatan yang sistematis dengan alokasi waktu yang tepat buat anak
- Perlu stategi belajar yang efektif dan memancing anak untuk memepertanyakan matematika dalam dirinya
- Pelatihan dan bimbingan buat anak-anak yang akan membantu pemecahan masalah dalam menghadapi kesulitan pelajaran matematika
- Memverbalisasikan konsep matematika yang rumit dengan cermat. Dengan cara ini mempermudah anak untuk mengerti konsep matematika
- Tulis angka-angka diatas kertas untuk mempermudah anak melihat. Menuliskan urutan angka-angka untuk membantu memahami konsep angka secara keseluruhan.
- Jangan biarkan anak untuk berpikir secara abstrak tentang matematika.
- Matematika dapat digunakan dalam konsep kegiatan sehari-hari. Seperti mengajak anak untuk menghitung kursi yang ada dimeja makan. Usahakan anak aktif untuk menghitung dalam kegiatan ini.
- Berikan pujian ketika anak sudah menujukkan kemajuan tetapi jangan terlalu menekan anak untuk pandai berhitung.
- Gunakan gambar agar anak merasa nyaman dan tidak terlalu fokus dengan penghitungan. Gunakan gambar yang menyenangkan. Misalnya, ibu membeli jeruk seharga lima ribu, gambarkan buah jeruk dan uang kertas senilai lima ribu.
- Ingatan anak diasah terus menerus agar ingatannya tentang informasi-informasi yang ada tidak terbuang.
kakak, tulisan anda bagus, alangkah lebih bagus jika disertai daftar pustaka.trimakasih
BalasHapus