Matematika bukanlah pelajaran yang mudah. Itulah yang ada di benak sebagian besar pelajar Indonesia. Sebagian besar pelajar di Indonesia menganggap Matematika sangat sulit dipelajari, menegangkan dan membosankan. Mengapa demikian? karena begitulah kenyataannya. Matematika bukanlah pelajaran yang bisa dimengerti dan dipahami begitu saja. Perlu keuletan, kesabaran, ketelitian dan analisis yang mendalam untuk bisa memahaminya. Tapi seperti apapun sulitnya Matematika, dia tetaplah primadona di bidang ilmu pengetahuan. Matematika adalah bahasa ilmu pengetahuan artinya Matematika adalah ilmu yang bisa menjadi jalan untuk mempelajari ilmu yang lain seperti penghitungan dalam ilmu ekonomi, bahkan penarikan kesimpulan terhadap suatu peristiwa dalam kehidupan sehari-hari pun merupakan proses bermatematika. Jadi seperti apapun sulitnya Matematika, Matematika tetaplah pelajaran wajib yang penting dan tak bisa dihindari oleh semua pelajar di negeri ini. Indonesia.
Dari uraian pada paragraf pertama kita tentu tahu bahwa Matematika adalah pelajaran yang memang tidak mudah. Namun, selanjutnya timbul pertanyaan, kenapa sebagian besar pelajar di Indonesia sangat takut akan Matematika? Kenapa Matematika dianggap sebagai pelajaran yang jika bisa ingin dihindari? Apa karena Matematika sulit dimengerti lantas Matematika langsung dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan? Sepertinya ini tak adil bagi Matematika karena sebenarnya dia adalah ilmu yang sangat bermanfaat dan menarik. Lalu dimana letak kesalahannya? Kenapa Matematika begitu ditakuti? Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sebenarnya ketakutan dan ketidaksenangan terhadap Matematika muncul karena proses perkenalan yang salah dengan Matematika dan ketidakpahaman pada tingkat dasar yang dibiarkan sehingga semakin menumpuk dan akhirnya mengganggu proses pembelajaran Matematika pada tingkat selanjutnya. Ketidakpahaman inilah yang membuat siswa merasa kesulitan untuk menyelesaikan masalah-masalah Matematika sehingga menimbulkan kejemuan bahkan ketakutan terhadap Matematika.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Sebenarnya, apa yang salah dalam proses pembelajaran di negeri kita sehingga para pelajar di negeri ini tidak menyukai Matematika?.
Akar permasalahannya sebenarnya terletak di Sekolah Dasar yang merupakan lembaga pendidikan pertama yang memperkenalkan Matematika kepada pelajar di Indonesia. System pembelajaran konvensional dengan menggunakan metode ceramah telah menempatkan siswa pada posisi sebagai objek dalam proses belajar sehingga siswa menjadi individu pasif yang hanya menerima apa yang diberikan oleh guru, mungkin sistem belajar ini cocok untuk pelajaran tertentu, sejarah misalnya. Tapi sistem ini sangat tidak menunjang jika diterapkan pada Matematika. Melalui metode ceramah, Matematika hanya dikenalkan sebagai mata pelajaran penuh hitungan dan rumus-rumus yang membosankan. Anak sama sekali tidak bisa menangkap konsep inti dari materi yang didengarkan karena pada tingkat usia sekolah dasar kemampuan anak untuk bisa berfikir abstrak belum terbentuk.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif, Piaget (Syamsu Yusuf 2007:6) mengungkapkan bahwa pada umur 6-11 tahun (anak usia sekolah dasar) anak baru sampai pada tahap operasi konkret dimana anak telah memiliki kecakapan logis melalui benda-benda konkret di sekitarnya dan anak telah mampu membandingkan pendapat orang lain hanya pada masalah-masalah yang konkret.
Berdasarkan teori Piaget ini, kita mengetahui bahwa anak hanya bisa memecahkan dan menerima satu masalah, ide atau ilmu berdasarkan benda benda kokret di sekitarnya. Melalui teori ini kita bisa menemukan salah satu solusi yang mungkin bisa membuat perkenalan dengan Matematika pada anak sekolah dasar menjadi proses yang menyenangkan, yakni dengan menggunakan benda-benda konkret sebagai alat peraga. Contohnya adalah saat anak mempelajari bangun ruang seperti kubus, guru bisa memberikan materi tentang kubus dengan memperlihatkan kubusnya secara langsung sehingga materi tentang rusuk kubus, sisi-sisi, dan diagonalnya menjadi lebih nyata dan anak akan lebih mudah memahaminya dengan cara ini anak akan mampu menyelesaikan dan memahami materi lain yang lebih mendalam tentang kubus seperti memahami definisi luas dan volumenya.
Pengalaman mempelajari Matematika dengan alat peraga seperti yang telah dicontohkan pada paragraf sebelumnya akan membuat anak faham dengan konsep inti dari materi yang diberikan dan penyampaian materi dengan alat peraga yang divisualisasikan akan terekam dalam memori siswa sehingga diharapkan konsep ini selalu diingat dan bisa membantu untuk mempelajari dan memahami konsep Matematika pada tingkat berikutnya.
Penggunaan alat peraga juga tak selamanya hanya berupa penjelasan guru yang dipaparkan melalui visualisasi dengan benda-benda konkret melalui metode pemaparan tapi guru juga bisa mengeksplor kreativitas anak melalui teori belajar yang lain.
Guy Brosseau ( Warfield 2006:22) menyatakan teori belajar Matematika yang lebih kreatif yakni Didactical Theory yang intinya menekankan proses belajar Matematika sebagai proses yang terdiri dari action, formulation dan validation. Action adalah proses dimana anak mendengar informasi dan belajar untuk memahami informasi, formulation adalah proses dimana anak telah berhasil menyerap informasi dan berusaha untuk mencari solusi dari masalah yang telah diberikan guru dan validasi adalah saat dimana anak telah menemukan solusi yang tepat, meyakini bahwa solusinya itu benar dan mampu menjelaskannya pada orang lain. Instruksi untuk membuat kubus dengan jaring-jaring yang bebeda adalah contoh penerapan teori ini. Action adalah saat dimana anak mendengar instruksi dari guru untuk membuat jarring- jaring dari kertas karton dengan bentuk yang berbeda-beda. Formulation adalah saat dimana anak mulai berproses untuk melakukan tidakan sesuai informasi yang dia dengar dan dia pahami, mungkin dalam proses ini anak akan mengalami kegagalan tapi selanjutnya anak akan pada tahap ini anak akan mengalami kegagalan tapi selanjutnya anak akan mencari cara lain hingga akhirnya ia sampai pada tahap terakhir yakni validation dimana anak telah menemukan cara yang tepat, unik, dia meyakini bahwa caranya benar dan ia bisa mengkomunikasikannya kepada teman sekelasnya.
Contoh penggunaan alat peraga yang telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya adalah contoh penerapan metode pengajaran yang lebih kreatif dan merangsang anak untuk belajar berpikir matematis dengan cara menyenangkan dan ringan.
Dari uraian-urain yang telah penulis sampaikan. Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya Matematika adalah pelajaran yang menyenangkan jika proses mempelajarinya benar dan sesuai dengan proses perkembangan kognitif anak. Saat anak berada pada tahap operasi konkret atau saat anak usia SD, anak akan lebih memahami apa yang dia terima jika semuanya divisualisasikan dengan alat peraga, tidak hanya ceramah yang berupa suara yang membuat anak kurang bisa memahami materi Matematika dengan baik. Selain hal tersebut, alat peraga sangat penting untuk memperkuat memori siswa sehingga konsep yang ia pahami pada tingkat dasar bisa mereka ingat ketika mereka menerima konsep baru pada tingkat berikutnya dan mereka bisa menggunakan konsep yang telah mereka pahami dahulu pada materi baru. Kita mengetahui bahwa proses untuk mempelajari Matematika adalah proses yang berkesinambungan dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dengan pemahaman pada tingkat dasar yang baik melalui penggunaan alat peraga diharapkan siswa akan lebih menguasai dan menyukai setiap materi dalam Matematika sejak tingkat dasar sehingga pada tingkat berikutnya siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam mempelajari materi yang lebih sukar karena siswa telah memiliki pondasi yang kokoh dan telah menyukai materi Matematika sejak dini.
0 komentar:
Posting Komentar